Quantcast
Channel: HORRORSEKAREPDEWEK
Viewing all 50 articles
Browse latest View live

Open Windows (2014) : Sang Idola Yang Turun Ranjang

$
0
0

Reviewed By GAMBIR


Saya ingin berterima kasih kepada KKDheeraj yang telah memperkenalkan Sasha Grey lewat Pocong Mandi Goyang Pinggul nya. Saya baru tahu perihal bintang porno ini setelah kontroversi filmnya beberapa tahun lalu yang ribut-ribut dengan FPI, karena jujur di Pornhub saya lebih anteng dengan JAV ( japan adult video )dibanding AV (adult video). 

Setelah berkarir selama 5 tahun dengan membintangi 300 lebih film biru Sasha Grey memutuskan untuk pensiun. Dan belakangan dia lebih disibukan dengan bermain dibeberapa serial tv dan film, juga mengisi suara untuk  video game. Bagi saya Sasha Grey sangat cerdik menjadikan film porno sebagai bantu loncatan dalam karirnya. Dia sadar dunia peresek-esekan tidak akan bertahan lama baginya, mengingat bukan hanya penampilan saja yang menjadi daya pikat dari  industri ini tetapi juga performanya. Jadi sebelum tubuhnya keriput dan tak lagi menjadi komoditi dia memberanikan diri untuk ikut bersaing di industri film blockbuster. 

Perjalanan Grey tentunya akan sangat panjang sebelum dia dilirik oleh hollywood sebagai salah satu aktris yang patut diperhitungkan. Namun rupanya bermain di film Open Windows bersama Elijah Wood bagi saya patut dia sukuri sebagai keberuntungan yang luar biasa. 

Hey, siapa yang tidak mengenal hobit yang satu ini, walaupun setelah berhenti dari trilogy LOTR  nampaknya Elijah Wood tak banyak bermain di film-film garapan rumah produksi besar. Apakah karena tinggi badannya ? atau peran Frodo yang kandung melekat pada dirinya ?. Daniel Radcliffe setidaknya lebih beruntung bisa lepas dari bayang-bayang Harry Potter dan masih dipercaya memerankan karakter lain oleh rumah produksi besar. 



Sinopsis : 


Nick salah seorang fans garis keras dari seorang aktris, tiba-tiba terkejut oleh kadatangan tamu yang tidak dikenal lewat panggilan cam di laptopnya. Perbincangan hangat yang awalnya hanya membahas aktris idola mereka berdua berubah menjadi mencekam karena ternyata tamu yang bernama Chord ini lebih gila dibanding Nick. Chord adalah seorang hacker yang mempunyai kemampuan sebanding dengan anggota NSA. Masih Ingat dengan Snowden ? ketika ia berkata bahwa NSA bisa memata-matai kita lewat kamera handphone, webcam, dan cctv. Hal itulah yang akan dilakukan Chord kepada aktris idolanya yaitu Jill Goddard

Untuk menghilangkan jejak, Chord menggunakan Nick sebagai boneka, dan juga kambing hitam bagi polisi seakan-akan Nick lah yang sedang meneror Jill Goddard. Bagaimanakah cara Nick melepaskan diri dari Chord ? bagaimana juga dia menyelamatkan aktris idolanya ini dari terror sang maniak? Dan yang paling penting siapakah Chord ini ? 



Open Windows digarap oleh Nacho Vigalondo yang tidak begitu familiar ditelinga saya, kecuali namanya tercantum dalam salah satu director The ABCc of Death film omnibus yang juga dikenal pecinta horror lokal  karena salah satu film  Timo Tjahjanto juga ada didalamnya. 

Nacho menghadirkan suasana baru melalui Open Windows, walaupun tidak baru-baru amat karena teknik ini pernah saya liat di film Unfriend. Saya tak tahu harus menyebut film ini sebagai genre apa untuk sebuah film yang mengandalkan kamera laptop, cctv, dan gopro ? namun Dalam sebuah review seorang bloger menyebutkan bahwa Open Windows disebut sebagai genre techno-thriller. jika bang Ringgo tahu jenis film apa ini, tolong kasih tahu saya..hehe. 

Jika film ini dikategorikan mockumentary, yang saya tau tampilan gambar harusnya hanya berdasarkan kamera yang dipegang oleh tokoh dalam film. Namun dalam Open Windows kita disodori sebuah tampilan layar  laptop lengkap dengan wallpaper dibelakangnnya. Beberapa scene interaksi antar tokoh hanya terjadi lewat cam. 

Tapi bagi saya teknik ini lebih bisa diterima dibanding mockumentary yang kadang-kadang membuat kepala saya pusing karena kamera jumpalitan dan tata cahaya yang tidak beraturan. 

Penampilan Sasha Grey disini cukup mendominasi mengingat dalam Open Windows dia menjadi tokoh sentral, dibandingkan dengan film-film sebelumnya yang hanya hadir sekilas. walapun performa aktingnya ga wah-wah amat karena kamu akan susah membedakan ekpresi ketakutan dan horny karena keduanya tampak sama . Damn !! saya gagal fokus beberapa kali. 

Tapi lagi-lagi seperti dalam film-film sebelumnya Sasha Grey seperti susah lepas dari titel bomsexnya, hal itu diperparah oleh sang sutradara yang selalu memposisikan Grey sebagai objek fantasi para lelaki. Dengan mengeksplore tubuh sintalnya lebih lama dibanding fokus pada pendalaman karakter yang sedang diperankannya. 


Padahal Sasha Grey bukan bintang porno biasa, setelah pensiun dari dunia ranjang pilihan karir yang diambilnya selain sebagai model dan akting dia juga menulis. Terbukti sudah dua buku yang dia terbitkan Neu Sex dan The Juliette Society, sebuah novel erotis. pilihan karir yang tidak biasa diambil oleh seorang mantan pemain blue film sebelumnya.  

Tapi sebagai debutnya di dunia seni peran mainstream Open Windows sebuah permulaan yang bagus untuk dirinya. Mari kita tunggu beberapa tahun lagi apakah dia akan berhasil dan lepas dari bayang-bayang ranjangnya seperti Cameron Diaz atau  akan berakhir mengenaskan seperti mantan bintang porno kebanyakan yang menjadi psk jalanan. 

Balik lagi ke filmnya, Open Windows tidak begitu buruk, walaupun ada beberapa plot hole yang cukup menganggu. seperti, apa motivasi Chord menculik Jill, dan beberapa pertanyaan lainnya yang 
menyangkut adegan diakhir film yang bila saya ceritakan takut berpotensi spoiler hehe..

Elijah Wood sama seperti peran-peran film sebelumnya yang selalu menjadi pemuda innocent korban keadaan. Walaupun saya benci karena di film ini dia tampak seperti pecundang sejati yang tak punya peran apapun selain obesesinya yang berlebih pada sang idola. Tidak seperti  dalam film Cooties, setidaknya walaupun sama-sama pecundang tapi dia masih bisa diandalkan. 

Di menit awal sampai pertengahan cerita masih bisa dinikmati walaupun konflik hanya digambarkan lewat percakapan antar tokoh melalui webcam. Namun dibagian akhir, film seperti kehilangan arah, misterinya tampak berbelit-belit ditambah ketidakkonsistenan antagonis kita yang tampak meyakinkan diawal dengan kecerdasan memanipulasi korbannya namun menjadi sangat bodoh di bagian akhir ketika mau menurut begitu saja perintah sang tawanan tanpa pertimbangan. 

Dibandingkan dengan Unfriend, film ini masih bisa ditolerir dalam segi tampilan gambar. beberapa soundtrack ditambahkan untuk menambah ketegangan, ketimbang Unfriend yang sunyi, mungkin maksud hati untuk memberikan efek real, tapi yang ada malah kebosanan yang luar biasa. 

Jangan terlalu berharap lebih bila kamu ingin menikmati Open Windows, memangnya apa yang bisa diharapkan dari sebuah film gaya webcam yang diperankan mantan bintang porno ?

Calvaire ( 2004 ) : Kegilaan nan Surreal dari Pelosok Belgia

$
0
0
Calvaire udah nge-set tone unsettling dark humor nya sejak menit pertama lewat adegan pertunjukan musik yang gue duga berlangsung disebuah panti jompo dimana karakter utama kita, Marc Stevens ( Laurent Lucas ) ternyata adalah penampilnya. Ya, Marc adalah seorang penyanyi yang membawakan lagu-lagu cinta cheesy dengan jubah panggungnya yang juga terkesan murahan. Meskipun hanya penyanyi undangan yang bermain di acara-acara  kecil, Marc rupanya cukup populer dan disukai audiensnya, terbukti abis dia nyelesein pertunjukan,  seorang nenek nyelonong menemui Marc dibelakang panggung dan melakukan gestur ajakan seksual haha. Marc dengan awkward menolaknya yang langsung membuat nenek itu memaki dirinya sendiri. Adegan ini seperti ngasih tau apaan yang akan gue liat : sebuah unsettling dark comedy yang nantinya mungkin akan di mix ama atmospheric-horror.  

Abis itu, diceritain Marc langsung melanjutkan tur-kecil nya ke daerah selatan untuk tampil di sebuah acara natal. Ditengah perjalanan, ketika nyampe di sebuah hutan berkabut nan terpencil, tiba-tiba aje mobil Marc mogok. Untungnya, saat sedang kebingungan, datang seorang warga sekitar ( Boris ) yang meski berperilaku aneh, mau membantu mengantarkan Marc ke sebuah rumah penginapan terdekat. Bartel, ( orang tua pemilik rumah penginapan ) segera menyambut Marc dengan ramah. Malam yang cukup sial itu sepertinya akan dilewati Marc dengan menginap di penginapan itu sambil menunggu mekanik datang untuk memperbaiki mobilnya. 

Tapi kita sedang menonton sebuah film yang kedefinisi sebagai horror, dimana segala sesuatu tidak sebaik kelihatannya bukan? hehe.



Bener aje. Lama ditunggu, mekanik tak juga kunjung datang. Bartel yang awalnya seperti tuan rumah yang menyenangkan dengan menghidangkan makanan dan senang menceritakan joke, mulai nunjukin gejala ketidakstabilan mental ketika dia bercerita tentang istrinya ( Gloria ) yang telah lama menghilang. Keadaan semakin terasa tidak beres untuk Marc ketika secara tak sengaja dia menyaksikan hal yang membuatnya terkejut : sekelompok pria desa ( hillbillies ) berada di sebuah kandang sapi, sedang memaksa salah satu teman mereka untuk bercinta dengan seekor babi!  


Rilis di tahun 2004 ketika slasher/torture porn sedang booming dengan film-film macam Saw, Hostel, Wrong Turn, Haute Tension, Cabin Fever dll, film debut sutradara asal Belgia, Du Welz ini menderita cukup banyak review negatif. Gue duga salah satu penyebabnya adalah promosi salah yang menyebut film ini sebagai 'brutal as hell' membuat penonton kemudian berekspektasi mendapatkan sesuatu yang similiar ama judul-judul diatas ( blood, gore and mindless violence ). Padahal, meskipun plot diparuh pertamanya ( middle of nowhere, mobil mogok, penginapan, orang aneh dll )  seperti mengindikasikan Calvaire akan berada diranah yang sama, tapi secara keseluruhan ini jelas sajian yang sangat berbeda. 

Alih-alih berjumpa dengan psikopat yang memakai topeng kulit dan nenteng gergaji mesin, Marc terjebak dirumah orang tua kesepian-sinting yang mengikatnya, mencukur rambutnya, memakaikan rok wanita, menyalibnya, lalu mengajaknya berbincang-bincang seakan-akan dia adalah sang istri yang telah lama hilang. Lebih buruknya, semua warga desa terpencil itu ternyata memiliki ketidakwarasan yang sama dan bahkan mampu ngelakuin hal-hal yang lebih buruk, seperti..menyodominya beramai-ramai! 

Dengan objek-penderita yang cuma satu, Calvaire memang sejak awal tidak berniat ngasih kita sajian gorevaganza bertabur body-count masif dan memilih untuk memutar setirnya ke ranah psikologikal dengan balutan kuat atmosfir unsettling-absurd yang secara aneh menghasilkan komedi-gelap nan tragis. 

Salah satu adegan paling bizarre dalam Calvaire

Dari segi cerita, Du Welz sepertinya ingin berbicara tentang kesepian dan derita-kehilangan yang di satu titik kepedihannya mampu menghilangkan kewarasan dan menghadirkan horror untuk orang lain ( btw, film kedua Du Welz 'Vinyan' ( 2008 ), juga memiliki tema yang sama ). Ide ini sedikit banyak terasa similiar ama 'The Eyes of My Mother' dimana kesepian akut dan derita kehilangan secara perlahan ngerubah gadis kecil Francisca menjadi seorang psikopat. Nah bedanya, dalam Calvaire, tragedi itu menimpa satu desa dan membuat seluruh warganya menjadi sinting, menganggap seorang pria pendatang sebagai istri mereka yang menghilang entah kemana haha. Film lain yang teringat dibenak gue saat menonton ini adalah Misery, terutama dibagian interaksi thrilling Marc dengan Bartel dan Deliverance untuk bagian kebrutalan hillbillies yang melibatkan bestiality dan sodomi nya. Sementara itu, kalo kalian adalah tipe penonton yang senang memikirkan maksud tersembunyi dari sebuah film, pemilihan judul 'Calvaire'( yang berarti 'cobaan berat' ), profesi karakter utama kita yang seorang penghibur, serta tampilnya simbol teologi di beberapa scene, cukup menggoda untuk diinterpretasi lebih jauh.  


Overall, Calvaire awalnya terasa membosankan dengan feel semi-arthouse, tempo yang cenderung lambat dan tensinya yang kurang ketat. Bagian openingnya lebih mirip dokumenter, sementara bagian pertengahannya memiliki struktur yang sama dengan tipikal cheesy-horror ala hollywood,  

Namun kegilaan di bagian akhirnya ngasih pengalaman surreal nan mengguncang dan membuat gue terpaku bahkan ketika film udah munculin credit-title nya. Filmnya bahkan terasa lebih asik dikesempatan menonton yang kedua kalinya. 

Selain itu, pergerakan kamera Benoit Debie( yang juga kameramen'Irreversible' ( 2002 )menjadi poin penting lain dari Calvaire, dimana pada satu adegan, kameranya berputar putar dengan cepat mengelilingi 3 karakter, sementara diadegan lainnya seperti melayang-layang untuk menangkap semua kegilaan yang terjadi. 

Untuk penggemar euro-extreme dan eksentrik horror fans yang nggak masalah dengan minimnya jumlah muncratan darah serta sedang mencari sesuatu yang aneh, atmospheric dan unik, Calvaire cukup gue rekomendasikan. 

SCORE!

Ouija : Origin of Evil (2016) : Jadul Versus Urban

$
0
0
Reviewed By GAMBIR 

Film horror adalah candu bagi sebagian orang termasuk saya. semakin seram bukannya bikin kapok tapi malah bikin nagih. mungkin karena manusia sebenarnya senang dengan terror, jantung yang berdegup dengan kencang akan menghasilkan hormon adrenalin gratis tanpa harus melakukan olahraga ekstrem, yang katanya bagus buat kesehatan. 

Horror supranatural adalah film favorit saya dibanding genre horror turunannya yang mengeksploitasi kekejian, kebrutalan yang bisa kita temukan dalam film-film gore. Mungkin karena supranatural begitu lekat dengan kehidupan sehari-hari, memori masa kecil tentang cerita-cerita hantu membentuk rasa takut sendiri dalam ingatan, sehingga begitu  melihat sosok menyeramkan walaupun itu hanya dalam film, tombol dikepala saya terasa ditekan dan bulu kuduk secara otomatis langsung merinding. 

Jika bertanya film horror apa yang paling seram, mungkin banyak orang yang akan menjawab film horror era 80an. terbukti Suzzanatelah berhasil menjadi wajah bagaimana berhasilnya sinema horror saaat itu. Keistimewaan dari film horror jadul adalah terletak pada suasana yang coba dibangun, dengan template perkampungan dan menjadikan tempat-tempat seperti telaga, pohon besar dan rumah tua sebagai sarang dedemit, sangat terasa dekat dengan kita. 

Namun menuju era 2000an film horror banyak diangkat dari legenda-legenda urban yang sayangnya belum bisa mengalahkan kemasyhuran film-film terdahulunya. Entah apa penyebabnya karena belum ada penelitian yang pasti terkait masalah ini. Tetapi menurut saya film horror yang bagus bukan cuma menakuti tapi seharusnya menghantui, dan lebih bagus lagi kalau bisa sampai membuat trauma seumur hidup. 

Coba bandingkan adegan di film horror yang masih menghantui kamu sampai sekarang ? adegan kepala yang nongol ditoilet dalam Telaga Angker, adegan penampakan arwah dari balik jendela di Pengabdi Setan. Siapa yang tidak mengingat adegan-adegan ikonik tersebut yang masih dibicarakan di forum-forum maupun diwarung kopi tempat pecinta horror berkumpul. 

Begitu pula dengan perfilman Hollywood, tapi bukannya film diera urban jelek semua, ada yang berhasil ada juga yang tidak. Namun bila merujuk pada adegan ikonik tadi, siapa yang tidak ingat momen-momen di film The Shining yang bahkan scene terkecilpun berhasil menjadi memorable seperti adegan sepasang hantu anak kembar. Atau dalam The Exorcist adegan ranjang melayang. 

Maka tak heran para sineas yang mendapat kritikan baik akan hasil karyanya adalah film dengan membawa nuansa jadul itu kembali, seperti halnya The Conjuring. Atas dasar itulah kemudian Hasbro Studio merilis Ouija : Origin of Evil yang sebelumnya telah merilis film horror berjudul sama yaitu Ouija (2014) tanpa embel-embel Origin of Evil. 

SINOPSIS : 

Seorang janda bernama Alice harus menghidupi kedua anaknya Lina dan Doris dengan cara membuka praktek meramal. Namun sayangnya praktek konsultasi dunia gaib itu hanya kedok dari penipuan yang dilakukan Alice dengan kedua anaknya. kehidupan mereka berubah setelah membeli papan Ouija yang awalnya hanya dimaksudnya sebagai property baru penipuan malah mengundang hantu beneran. 

Masalah pun semakin pelik, ketika anak bungsunya yaitu Doris mulai menunjukan tanda-tanda aneh. bukan hanya terror hantu yang datang tapi juga masalah ekonomi yang harus Alice selesaikan, bisakah Alice mengatasi semuanya ? 

REVIEW :


Film dibuka tampak menjanjikan dengan kredit title bertuliskan “Los Angeles 1967” wah sepertinya nuansa yang dibangun akan seperti The Conjuring. Adegan berlanjut dengan shock therapy pertama yang berhasil membuat penonton berdebar dengan tanda-tanda penampakan, cerita pembuka tentang pasien seorang ayah dan anak yang berlangsung beberapa menit diawal itu berhasil membuat saya tersenyum kecut.  

Kalau saja film berakhir sampai disitu mungkin saya akan memberi rating sepuluh, namun sayangnya film berlanjut. Adegan menakuti memang tidak terlalu dominan, dan  film tampak berusaha ingin mempertebal cerita dengan menghadirkan masalah yang kompleks dari setiap karakternya. 

Sayangnya lagi, cerita yang dibangun dengan serius itu, dikacaukan dengan menyelipkan unsur roman. Hubungan percintaan antara seorang janda dengan pastur menurut saya tampak menggelikan, apalagi dalam adegan makan malam kedua pasangan yang sedang kasmaran itu tampak menyedihkan seperti dua orang horni yang sudah lama tak bercinta dan berusaha saling menggoda. Dan lebih mengenaskan lagi adegan tersebut tidak memberikan efek apapun pada jalan cerita. Entah siapa yang harus bertanggung jawab atas terselipnya plot macam ini karena di Ouija : Origin of Evil ada empat nama yang bertanggung jawab atas naskahnya. 

Identitas hantu yang wagu, karena diawal film ini sudah mengeset tema klasik, yang dimana biasanya identitas si hantu berasal dari sebuah sekte, legenda, atau bahkan  setan sejati macam iblis Lucifer. Origin of Evil malah lebih memilih mengundang sosiopat dari alam baka. 

Twist yang baik tecipta dari pelintiran jalan cerita yang sebelumnya kita duga-duga. Namun fakta yang tersaji diakhir film tanpa kita menduga-duga sebelumnya menurut saya itu kebetulan yang luar biasa. Dan seperti yang banyak dibilang dalam tips menulis, banyaknya kebetulan dalam ceritamu adalah pertanda sebuah naskah yang buruk. Dan itulah yang terjadi pada Ouija : Origin of Evil. 

Ending cerita dari film ini saya rasa lebih cocok untuk sebuah film thriller sosiopat. Tokoh Lina yang tiba-tiba mengambil alih cerita seperti terasa dipaksakan untuk memancing sekuel saja. Padahal yang menarik perhatian di film ini justru penampilan Doris si bocah lugu yang tiba-tiba bertingkah aneh. 


Untunglah film ini ditolong dengan penampilan Lulu Wilson yang berakting luar biasa. Liat bagaimana  dia memainkan mimik muka saat bermain karakter, ada saatnya dia tampak innocent  dan ada saatnya dia tampak dewasa dengan ekpresi wajah licik dan kejam. Sedangkan Annalise Basso juga cukup baik memainkan karakter remaja tanggung yang bertingkah centil seakan minta untuk dikelonin. Dan tokoh sisanya saya tak peduli, karena tidak ada apapun dari mereka yang bisa menarik perhatian. 

Andai saja cerita di film ini mengambil setting metropolitan dijaman sekarang mungkin akan tampak lebih buruk lagi seperti film pendahulunya. tidak ada kreasi baru dalam cara menakuti, tidak ada detail-detail kecil yang berpotensi menjadi identitas dari Ouija. Dan tak ada adegan yang menarik sebagai kenang-kenangan dikepala. 
Sebagai sebuah film horror Ouija : Origin of evil memang layak untuk ditonton, namun bila kembali pada misi film ini untuk menggali ketakutan lewat nuansa jadul dan cerita yang solid tentunya sangat gagal total. 
Saya tidak peduli kalau diluar sana ada orang yang mereview film ini dengan ratting bagus atau lumayan, bagi saya ini tetap film yang buruk. Maafkan bila reviewnya terlalu subjektif dan terkesan suka-suka, tapi bukankah itu alasan kenapa blog ini dinamakan horrorsekarepdewek?

KILLER TOON ( 2013 ) : Inovasi Korea yang Tidak Ada Habis-Habisnya

$
0
0
Reviewed By GAMBIR

Korea sedang berusaha menciptakan kebudayaannya sendiri di dunia hiburan untuk mendapatkan tempat dimata dunia. Lewat media yang sebenarnya sudah lama kita kenal, namun dengan piawainya memberi lebel seakan produk tersebut adalah ciptaannya. Siapa yang tidak mengenal istilah k-drama, k-pop  dan yang terbaru webtoon. 

Padahal kalau kita telisik sebenarnya ketiga produk Korea yang sedang ngehits ini adalah hasil dari serapan  negara lain. Sebut saja K-Pop ( girband/boyband ) yang sebenarnya hanya group vocal biasa, namun mereka kemas dan dilebeli sehingga menjadi identitas tersendiri. Sedangkan webtoon mungkin dibuat untuk menyaingi manga milik jepang yang sudah lebih dulu dikenal. 

Dan dari dunia K-drama belakangan ini mulai bergeser dengan mengikuti format serial tv amerika. Korea kini mulai berani keluar dari genre romansa dan kolosal yang selama ini menjadi andalannya, dan mencoba merambah ke thriller, mistery dan fantasi. Khususnya di dunia thriller karena kita berada di blog horror, serial Gap-Dong dan Signal bisa dikatakan berhasil menarik perhatian. 

Perkembangan dunia hiburan korea selatan belakangan ini mengalami perubahan yang sangat signifikan baik dari segi kualitas maupun industrinya. 

Khususnya di dunia sinema, rupanya korea terus memperbaiki diri dan tak main-main dalam meningkatkan kualitas dan siap bersaing dengan  Hollywod. Berdasarkan artikel media daring yang saya kutip, Direktur Penelitian Kebijakan Korean Film Council (Kofic), Hyoun-soo Kim, memaparkan, para sineas di negerinya  berbenah sedikit demi sedikit memperbaiki kualitas teknis film, seperti suara, gambar dan penceritaan.  

Tentu keberhasilan ini tak lepas dari dukungan pemerintah untuk para sineasnya, ini terbukti dengan anggaran khusus yang selalu digelontorkan pemerintah Korsel untuk mengembangkan modal serta penelitian bagi industri perfilman Korea. Yang nilai per tahunnya mencapai Rp3,18 triliun. 

Korsel memiliki hampir 100 lebih rumah produksi maka tak heran bila kita akan dimanjakan dengan varian film yang berbeda, karena biasanya setiap PH memiliki identitasnya tersendiri, seperti misalnya Filma Picture yang khusus membuat film-film bergenre horror dan thriller atau Film It Suda yang biasanya membuat drama. 

Rasanya korea sudah hampir mencoba semua genre mainstream selama ini, zombie sudah ada, monster sudah ada, atau  film arthouse juga banyak. Dan Filma Picture mencoba membuat terobosan baru untuk sebuah film garapannya, yaitu sebuah film horror, thriller, sosiopat dan webtoon di mix sehingga menghasilkan sebuah film berjudul Killer Toon.

SINOPSIS : 



Ji Yun Kim seorang seniman webtoon divonis oleh psikiaternya mengidap sindrom alice in wonderland ( sindrom yang mengakibatkan dirinya tidak bisa membedakan mana dunia nyata dan dunia khayalan ) harus berurusan dengan polisi karena webtoon hasil karyanya berhubungan dengan banyak kasus pembunuhan.  

Setiap kali webtoon garapannya yang kebanyakan menceritakan kematian dipublish maka dalam waktu yang bersamaan juga terjadi sebuah kasus pembunuhan misterius yang detail kejadiannya  sama persis dengan cerita webtoon yang digambar Ji Yun Kim

Lalu apakah hubungan kasus-kasus kematian misterius dengan webtoon hasil karya Ji Yun Kim ? siapakah sosok pelaku dibalik kematian-kematian tersebut ? 

REVIEW :


Bila membaca  sekilas sinopsis film ini akan mengingatkan kita pada cerita Death Note, atau mungkin memang ide dasarnya dari situ. tapi dengan beberapa beberapa modifikasi tentunya yang akan membuat film ini berbeda.

Dengan tidak hadirnya aktor kawakan di film ini, saya sudah menduga bahwa Killer Toon adalah film horror yang lebih ngepop dan jauh dari kesan serius atau cerita yang mendalam. maka saya tidak terlalu berekpetasi tinggi pada film ini, sebuah twist yang sederhana diakhir cerita mungkin akan cukup membuat saya puas. 

Dari segi gambar cukup menarik dengan diselipi animasi-animasi sebagai ilustrasi seperti dalam serial Halfword, namun sayangnnya gaya pernceritaan yang terkesan berbelit-belit terkadang membuat saya bingung. Seperti misalnya dalam menceritakan sosok Ji Yun Kim yang tidak bisa membedakan dunia nyata dan khayalan, ini tak lebih seperti halnya adegan mimpi buruk dalam film horror yang selalu diakhiri dengan adegan bangun tidur.dan lebih buruk lagi adegan ini diulang berkali-kali sampai membuat saya bosan. 

Ngomong-ngomong soal sindrom alice in wonderland yang diderita si tokoh utama apakah penyakit ini ada atau tidak saya sempat searching dan hasilnya, voila! ternyata penyakit ini benar-benar ada meskipun tidak seimplisit yang dinyatakan dalam film ini. Konon katanya Lewis Carroll, sang penulis novel Alice  in Wonderland juga mengidap penyakit ini (mungkin itu alasan kenapa peyakit ini dinamakan sindrom alice in wonderland). Dan banyak orang beranggapan bahwa Carrol menggunakan penyakitnya ini sebagai sumber inspirasi dalam menulis karyanya. Nah jadi sekarang kalian tahu salah satu syarat kalau ingin menjadi penulis besar hehe 


Kembali ke review, Pembuat film ini mungkin sadar bahwa sedikit sekali sosok hantu yang menjadi ciri khas korea selatan yang masyarakat dunia kenal. Karena negri ginseng ini punya ikon sendiri untuk masalah terror yang mungkin lebih menakutkan dari hantu, yaitu pembunuh berantai. 

Memang pada kenyataannya, negara tempat tinggal Lee Min-Ho ini mempunyai stok orang gila lebih banyak daripada stok dedemit  di negri kita. Coba kamu hitung berapa jumlah film thriller asal korsel yang diadaptasi dari kejadian nyata, itu baru yang populer. Bila kamu berniat membuat buku tentang daftar pembunuh berantai dikorea selatan, mungkin akan lebih banyak lagi artikel yang kamu temukan. 

Atas dasar itulah kemudian si penulis naskah merubah sosok hantu menjadi  pembunuh. Seperti perkawinan genre antara horror demonic dengan horror sosiopat. Tapi berhubung ini yang bikin orang korea, jadi gaya penceritaan dibuat dengan alur yang tidak biasa dengan memakai alur campuran. Apakah itu membuat film ini keliatan cerdas ? sayangnya tidak. 

Film tampak ambigu ditambah editing yang amburadul. Disini kamu akan melihat scene gambar yang loncat-loncat, walaupun saya sadar film ini mengambil gaya penceritaan alur campuran, tapi gak gini-gini amat. Misteri yang dimasukan begitu banyak, namun tidak dipadatkan dan malah memmbuatnya terasa ambyar kemana-mana. Bayangkan 4 tokoh sentral di film ini memiliki plot twistnya masing-masing, dan setiap korban pembunuhan tidak terhubung dengan benang merah cerita. 

Bahkan untuk kasus siapa yang akan dijadikan tokoh antagonispun, si penulis naskah tampak kebingungan : 

A : Arwah penasaran mungkin layak jadi pembunuh dengan alasan balas dendam”  

B  : Tapi kan hantu ga bisa bunuh orang ?” 

C : Yaudah deh, pembunuhnya manusia aja kemudian hantu dijadikan pemanis, ini kan film horror jadi harus ada hantunya 

B : Lah, kalau pembunuhnya manusia kenapa ga bikin film thriller aja sih ? hantu harus tetep jadi tokoh sentral, kamu harus menghormati genre horror supranatural” 

A : Tapi hantu kan cuma refleski ketakutan manusia kemudian menjelma menjadi sosok yang kabur antara bayangan dan realita. Mana mungkin bisa nyekek manusia, megang benda aja ga bisa (jawabannya mulai serius). 

C : Tapi kan ini film hantu dimana semua aspek logis harus disimpan sementara. 

A: Baiklah, bagaimana kalau kita masukan saja semuanya, hantu dan manusia menjadi pembunuhnya di film ini ? 

PENONTON : terus fokus ceritanya mau kemana woiiiii ? 


Begitulah kira-kira perdebatan  3 orang penulis dari film ini. Yang pada akhirnya terciptalah sebuah naskah yang warbiyasaahh. 

Killer Toon mungkin film horror yang ditunjukan untuk penikmat dunia filsafat. Karena disini kita akan belajar tentang dunia gaib dan nyata, khayalan dan realita, baik dan buruk, ambisi dan dosa, balas dendam dan memaafkan, yang kemudian dibungkus dengan sebuah cerita yang mencampur adukan genre. 

Sayangnya saya tidak secerdas itu untuk bisa menikmati film ini. Saya lebih suka sebuah cerita sederhana, tentang arwah yang menuntut balas kemudian dibumbui sedikit humor receh dan diakhiri dengan kematian antagonis yang mengenaskan. 

Tapi walaupun begitu, Killer Toon telah menunjukan kepada kita, lagi dan lagi bagaimana berhasilnya negara ini mempromosikan kebudayaannya lewat media hiburan. 

Jadi kesimpulannya apakah film ini layak untuk ditonton ? 

Kalau mau nonton, ya nonton aja sih. Ga usah dengerin tulisan saya ini, wong setiap orang kan punya perspektif yang berbeda-beda akan apa yang ditontonnya..hehe

SCORE!

[ MANGA ] UZUMAKI - Spiral Into Horror VOL 1-3 : Horror spiral ala Junji Ito

$
0
0
Kalo kalian nge-klik menu 'About' di blog ini, disana tertulis 'Selain film, kami juga menulis tentang game, buku, atau komik'. Nyatanya, cuma ada review film di blog ini, haha. Tapi tenang, bisa gue pastiin kalo itu cuma soal waktu saja sebelum akhirnya gue ngereview medium horror selain film. Dan, inilah waktunya. Yap, review HSD kali ini adalah sebuah manga fantastis yang konon telah menjadi benchmark bagi dunia komik ( bergenre horror ) di Jepang.  

Ngomongin manga, aslinya gue bukan pengkonsumsi medium ini dan bahkan nyaris lupa kapan terakhir kali gue membaca sebuah manga. Ah ya, beberapa tahun lalu, seorang kawan merekomendasikan sebuah manga berjudul Parasyte karya Hitoshi Iwaaki, sebuah perkenalan yang kurang berkesan karena meski ceritanya cukup menarik dan dipenuhi gambar-gambar body-horror  gue nggak sampe selesai membacanya. Mungkin mood gue lagi kurang bagus atau sedang malas ( next time, gue akan mencoba membaca ulang manga ini ) tapi memang setelah Parasyte, gue nggak pernah membaca manga-horror lagi.  

Dan mengenai manga yang akan gue review ini, gue malah udah lama nonton versi filmnya ( berjudul 'Spiral' ( 2000 ) , disutradarai Higuchinsky ) , seinget gue, itu film dengan premis yang menarik namun memiliki skrip dan editing berantakan, membuat versi film ini terlalu absurd dan membingungkan ( terutama buat yang belum membaca manganya ) dan pada akhirnya mudah dilupakan. Lalu kemarin, entah kenapa tiba-tiba saja gue memutuskan untuk membaca versi manganya. Gue duga ini karena hujan deras diluar tidak kunjung berhenti dan gue butuh selingan hiburan pembunuh waktu selain koleksi film horror di harddisk yang udah ditonton berkali-kali dan gim Limbo yang juga udah ditamatkan berkali-kali. Pilihan gue jatuh pada manga karya Junji Ito ini.  

Kita ke plot nya dulu. 


Plot 


Uzumaki( yang berarti spiral/pusaran ) bercerita tentang gadis SMU bernama Kirie Goshima, Shuichi Saito ( pacar Kirie ), dan warga kota kecil Kurôzu-cho yang dikutuk oleh sebuah kekuatan supranatural misterius yang melibatkan pola berbentuk spiral. Pola spiral ini secara aneh mulai muncul dimana-mana dikota itu, kita bisa melihatnya di rumput-rumput, angin puyuh, awan, gerabah, makanan dan bahkan di air selokan. Seiring berjalannya cerita, Kirie dan Shuichi menjadi saksi bagaimana kutukan spiral ini mulai menimpa orang-orang disekitar mereka. Horror dimulai dari ayah Shuichi yang tiba-tiba terobsesi dengan pola spiral, ( dia mengumpulkan banyak benda berpola spiral, bahkan kemudian hanya mau memakan makanan yang memiliki pola spiral! ). Obsesi absurd  ayah Shuichi ini kian hari terus memburuk dan berujung pada aksi bunuh diri dengan cara yang sungguh tak terbayangkan: merubah dirinya menjadi spiral!!  

Cerita strangely-disturbing diatas bisa kalian baca di chapter 1 dan guess what, itu hanyalah awal dari bermacam terror horror-spiral mengerikan yang akan menimpa Kirie, Shuichi dan warga kota Kurôzu-cho di 18 chapter berikutnya. Mampukah Kirie dan Shuichi mengakhiri kutukan itu? 

Review 



Salah satu kekuatan Uzumaki jelas terletak pada premisnya yang sangat unik. Siapa sih yang mengira kalo pola spiral ternyata mampu diintegrasikan kedalam sebuah cerita horor? Ide Ito ini beneran absurd, meskipun gue seharusnya tidak terlalu terkejut kalo nginget populasi Jepang tuh emang dipenuhi orang-orang 'terlalu kreatif' yang mampu membuat sesuatu seperti ini :



Sedikit trivia, inspirasi Ito ternyata datang saat dia ngeliat bentuk obat nyamuk yang menurutnya memiliki pola misterius.  Ini memang menarik, polanya yang terus melingkar-lingkar kedalam akan membuat kita pusing saat melihatnya, bahkan dengan teknik tertentu seorang mentalis akan mampu menghipnotis kita menggunakan pola ini. Singkat kata, abis ngeliat obat nyamuk, imajinasi Ito pun menjadi liar, dia segera menulis Uzumaki sambil terus melakukan riset pada pola spiral yang menarik perhatiannya. Pada titik ini, metode risetnya ngingetin gue ama obsesi ayah Shuichi. Dia konon beneran menatap pola spiral berlama-lama, membuat pola spiral di air, memakan makanan berbentuk spiral, sampe memelihara bekicot untuk mengamati pola spiral di cangkangnya. Haha memang diperlukan totalitas dan banyak kegilaan untuk menciptakan karya yang nggak biasa-biasa aja. And he did it. and i really love it.  

Junji Ito tidak hanya bertumpu pada ide yang sekedar aneh ( out of the box ) saja,  tapi dia juga piawai menyusun ide itu menjadi kisah horor episodik sepanjang 19 chapter yang akan mengingatkanmu pada kisah-kisah kutukan kuno dan horror-kosmik ala H.P Lovecraft. 

Dalam 19 chapter Uzumaki ( 1 chapter biasanya berisi 30-40 halaman ) kalian akan ngeliat bagaimana kutukan pola spiral menyerang kota Kurôzu-cho ( baik secara fisik dan mental ) dengan berbagai cara yang tak terbayangkan. Contohnya, jika diatas gue udah cerita tentang ayah Shuichi yang terobsesi pola spiral, di chapter berikutnya kalian akan ngedapetin cerita tentang ibu Shuichi yang malah menjadi paranoid ama semua hal berbentuk spiral ( kemudian melakukan hal-hal mengerikan ), lalu ada anak SMU yang berubah menjadi bekicot, rambut aneh berbentuk spiral yang mampu menghipnotis, sampe pegas mobil yang membuat mayat bangkit dari kubur. Grotesque! 


mirip komik-lokal legendaris 'Neraka' yah hehe

Di medium lain ( film misalnya ) untuk menterjemahkan ide gila seperti itu kedalam sebuah adegan tentu banyak hal yang harus dipikirkan dari mulai tingkat kerumitan pembuatan, budget sampe durasi. Imbasnya, seringkali adegan hanya dibuat alakadarnya saja, ide yang hebat pun menjadi terlihat jelek. Nah, medium komik/novel graphis/artwork gue pikir lebih bisa ngasih keleluasaan pada kreator. Siapapun bisa menuangkan ide segila apapun, seliar apapun, setidak masuk akal apapun, kedalam kotak2 panel asalkan pembuatnya memiliki imajinasi dan keahlian menggambar. Gue pikir ini memang salah satu keunggulan komik, meski dalam sebuah kesempatan Ito pernah berpendapat bahwa membuat manga horror yang menakutkan lebih sulit karena medium ini tidak memiliki sound-effect untuk membangun tensinya. Tapi tentu saja, beliau hanya sedang merendah, karena siapa yang peduli soal efek suara dan tetek bengeknya kalo kalian memiliki ide gila dan panel-panel yang anjing-edan? 

Dan bicara soal panel2 anjing-edan, Junji Ito lah maestronya. Beneran, ketika nyampe di beberapa panel, gue bahkan seringkali tidak segera berpindah kehalaman selanjutnya hanya untuk menikmati detail artworknya ( juga untuk menerka-nerka apa sebenarnya yang ada dikepala pembuatnya ketika membuat sesuatu yang tak terpikirkan seperti ini ). Sangat mengasyikkan. Teknik paneling, skill, dan style  menggambar Ito ( yang cenderung realistik dengan menggambar karakter/environment secara proporsional dan akurat ) jelas telah mengalami perkembangan pesat, terutama jika dibandingkan kerjanya di Tomie yang masih terlihat flat. Sementara itu, gue senang dengan keputusan Ito untuk tidak memberi warna dan arsirannya yang seperti urek-urek. Menurut gue, itu berhasil menambah kesan dark, raw, dan gritty. Cocok dengan tone creepy-disturbing yang hendak disampaikan.  


Sedikit isu mungkin yang berhubungan dengan plot, yaitu ketika di sepertiga akhir Junji Ito seperti mengganti tone disturbing-horror nya menjadi thriller survival post-apocalypse dimana kota Kurôzu-cho diceritakan hancur lebur karena badai dan para protagonis kita berusaha keluar dari kota itu. Kegilaan masih dijumpai disana-sini, tapi tonenya lebih terasa thriller survival ( bahkan action, lengkap dengan geng vandal pengendara angin puyuh ), beda dengan 2 volume sebelumnya. Tentu saja ini nggak masalah, gue sadar, ini diperlukan agar cerita menuju konklusinya yang mana mengambil setting di sebuah dunia spiral surreal bawah tanah yang menakjubkan. Bagian finalnya sendiri diakhiri dengan cara yang terasa mendadak ( cepat ), tapi sekali lagi secara keseluruhan ini sama sekali nggak mengurangi kehebatan Uzumaki. 

Overall, 


Uzumaki berhasil menyedot gue kedalam pusaran dunia bizarre-surreal penuh kegilaan tak terbayangkan. Konsep dan temanya yang merupakan hybrid dari body-horror dan horror-kosmis ala H.P Lovecraft didukung  panel-panel grotesque yang sepertinya akan tetap berada di kepala gue untuk jangka waktu yang lama. Ya, setelah membaca ini, melihat pola spiral tidak akan terasa sama lagi. 

Seperti halnya Braindead yang berhasil menjadi pintu gerbang gue untuk mencintai dan masuk kedalam dunia horror b-movie, Uzumaki juga jelas telah menjadi gerbang untuk menyelam lebih dalam ke dunia horror Junji Ito, dan lebih luas lagi : komik-horror asal negeritempat tinggal Totoro itu. 

Buktinya, ketika mengetik ini gue sudah secara marathon menyelesaikan Tomie, Gyo, Black Paradox, beberapa manga pendek ( one-shot ) beliau, lalu juga Hell Baby ( Kyofu Zigoku-shojo ) karya Hideshi Hino serta Homunculus nya Hideo Yamamoto. Hmmm..sepertinya, akan ada banyak review manga horror di update-update mendatang hihi.  

SCORE!
 + Buat yang penasaran, kalian bisa mendownload versi scanlationnya di link dibawah ini, tapi kalo ada duit mah gue menyarankan dengan keras agar kalian membeli versi fisik resminya!

UZUMAKI Vol 1 - DOWNLOAD
UZUMAKI Vol 2 - DOWNLOAD
UZUMAKI Vol 3 - DOWNLOAD  

Mengenang Sinema Erotika Lokal 90an dan Perbincangan Bersama Azzam ( sutradara 'Pendakian Birahi' )

$
0
0
Buat kalian penggemar film yang besar di era 90-an, pasti akrab dengan nama-nama Malfin Shayna, Febby Lawrence, Cindy Windhyana, Sally Marcellina, Reynaldi atau Ibra Azhari.  Ya, mereka adalah artis-artis panas dari begitu banyak film-film erotis murahan yang lahir dan memenuhi bisokop di era itu. Itu masa kegelapan sinema-lokal menurut gue, bukan..bukan karena genre ini lebih buruk dari genre lainnya, tapi karena saat itu penonton nyaris tak punya pilihan. Oma Irama, Warkop DKI, Barry Prima, dan Suzzanna masih nongol di awal-awal 90an, tapi mulai pertengahan sampai setelahnya, hampir semua produksi film lokal adalah film dari jenis sexploitation ini. 

Penyebab situasi ini kalo menurut gue adalah karena kalah saingnya bioskop dengan program TV swasta ( yang saat itu sedang booming dan banyak menayangkan film barat berkualitas ) serta kemunculan VCD player ( dan rentalnya ) yang berhasil menawarkan alternatif hiburan rakyat.  Ketika bisokop menjadi sepi ( terutama jika dibandingkan era 80an ), alih-alih mengimbangi tantangan itu dengan produksi inovatif dan berkualitas, rumah produksi malah dengan putus asa mencoba merayu penonton lewat jalan pintas :  membuat film erotis. Sayangnya, hasil akhir film-film yang dibuat dengan dana cekak itu sungguh bertolak belakang dengan poster dan judulnya yang sangat menggiurkan. Ini membuat keadaan semakin buruk dan bioskop rakyat pun berada di senjakalanya. 

Cerita nggak jelas, akting buruk, dialog bodoh, serta adegan yang sebenernya dimaksudkan menjadi sensual namun jatohnya malah menyedihkan adalah beberapa ciri dari film erotis lokal yang gue inget di era ini. Sementara itu, gunting sensor membuat film hanya tinggal berdurasi sekitar 50 menit saja dan membuat ini semakin menjengkelkan, terutama untuk bocah pre-teen dengan libido dan rasa penasaran yang sedang tinggi-tingginya haha. 

Nah, sekitar 3 minggu yang lalu, di sebuah event ( Layar Tancep Indie ) gelarannya @WRstore yang saat itu mencapai edisinya yang ke 9, di tayangkan sebuah film dengan judul yang sangat menggelitik : "Pendakian Birahi" haha ini langsung membuat ingatan gue kembali ke era'Ranjang Yang Ternoda', 'Gairah di Puncak', 'Kenikmatan Tabu'serta 'Nafsu Liar' yang gue ceritain di atas. 

Selidik punya selidik, itu adalah sebuah film indie bikinannya si Azzam ( doi juga mengelola sebuah blog yang khusus mengulas film-film low-budget underrated lokal, terutama yang disutradarai Nayato! cek blognya di tabunggaselpiji ). Dan konon, 'Pendakian Birahi'adalah sebuah homage untuk film film cheap-sexploitation lokal era 90an. Nah ini membuat gue penasaran, apa menariknya film erotis lokal 90an sampe harus dibuat homage? 

Jadi gue langsung sepik-sepik ama sutradaranya ( Azzam ), berharap bisa dicariin jalan untuk menonton filmnya, Dan voila! kecanggihan internet membuat segalanya menjadi mungkin, meski alangkah lebih mengasyikannya kalo saja gue bisa nonton ini rame-rame langsung di acara screeningnya hehe. However, thanks Azzam! 

Berikut sinopsis singkat film pendek ( berdurasi 12 menit ) ini : 

'Pendakian Birahi' bercerita tentang Mara ( Diperankan oleh Yurinda Anggun P. ) yang sedang sangat membutuhkan uang untuk biaya operasi ibunya dirumah sakit. Diliputi kegalauan, Mara akhirnya memutuskan untuk mendapatkannya dengan jalan pintas : melayani nafsu pria hidung belang di sebuah hostel. Tanpa Mara sadari, hostel itu ternyata memiliki rahasia mengerikan yang membuat Mara harus berhadapan dengan psikopat-mesum-bejad!  

Nah, ternyata berbeda dengan pengalaman masa kecil gue dengan film2 jenis ini yang rata-rata berakhir dengan kekecewaan, menonton film garapan Azzam ini terasa sangat fun ( terutama sensualitas awkwardnya haha ) dan bahkan berhasil ngasih shock-value di bagian lainnya. Build up karakter, cerita dan tensinya cukup berhasil meski hanya menggunakan percakapan di handphone, sementara itu balutan musik jazz lembut khas 90an garapan Aditya Saputra akan membuat kalian cengar-cengir sendiri karena teringat adegan Anne J. Coto yang sedang memelorotkan tali beha. Haha crazy fun! Gue duga ini mungkin karena gue bisa merasakan passion dan semangat bersenang-senang Azzam, juga mungkin karena mindset menonton yang berbeda dengan saat gue kecil dulu haha. 

Satu hal positif lain yang ditularkan Azzam lewat'Pendakian Birahi'adalah bagaimana dia sukses membuat gue iri untuk segera membuat film pendek juga. Berbeda dengan Azzam, film pendek gue bakal berisi monster berlendir, prostetik dan darah! hmmm..segera! 

Baiklah..cukup prolognya, sekarang kita langsung simak obrolan ngalor ngidul gue dengan Azzam seputar filmnya, sinema trash lokal, dan Nayato!


HSD : Pertama, selamat atas dirilisnya film kalian 'Pendakian Birahi' ( PB ) di event Layar Tancep Indie WR. Apa ini film pertama lu? Ceritain gimana lu bisa terbersit ide untuk membuat film ini dan hell yeah, gimana rasanya membuat film sendiri? Hehe 

Azzam : Terima kasih banyak! Sebelumnya gue udah pernah bikin beberapa film pendek, tapi mostly buat tugas kampus. Tapi bisa gue bilang kalau Pendakian Birahi adalah film pendek pertama yang “gue banget”. Ini film yang udah lama banget pengen gue bikin. Awalnya cuma kepikiran doang buat bikin film homage seksploitasi 90an lokal dan sempet ngobrol sama salah satu temen gue (yang juga jadi produser film ini, Timo Sidin). Obrolan ini sebenarnya sudah dari bulan Oktober tahun 2015. Tapi baru sempat direalisasikan menjelang pertengahan tahun 2016. Menyenangkan rasanya bisa bikin sesuatu yang sesuai dengan keinginan gue hehe. 

HSD : Terima kasih udah diberi kesempatan nonton PB, meskipun tidak secara langsung di acara hehe. Jujur aje, itu keren dan 'Pendakian Birahi' ngasih apa yang gue harepin dari sebuah cheap-sexploitation. Sensualitas murahan ama kekerasan konyol hehe. Dan malahan kalo diinget-inget ini lebih fun ( dan berhasil ngasih shock value ) daripada apa yang dulu gue liat langsung di bioskop era 90-an, penyebabnya apalagi kalo bukan gunting sensor keterlaluan yang membuat pengalaman gue dengan film2 erotis 90-an hanya berisi kekecewaan.  

Nah, gue tau lu nyoba membuat homage untuk film2 lokal di era itu ( meskipun gue juga ngerasa ada sedikit pengaruh film eksploitasi barat 70-an dan sinema HKCat III ) , bisa diceritain apa yang paling menarik dari sinema sexploitation lokal era 90-an, dan secara spesifik judul mana yang paling menginspirasi lu baik dari segi cerita atau visual style saat membuat 'PB'?  

Azzam : Wadaw terima kasih banyak sekali lagi! Niat gue dari awal ketika menggarap film ini memang ingin nonjolin kesan murahan dan absurd yang biasa lo temuin di film-film erotika 90an lokal. Di PB, lo bisa dapetin kesan-kesan itu lewat adegan-adegan macem perempuan striptease dengan gerakan yang terlihat awkward sampai pria yang mandi sambil masih mengenakan celana panjang hahaha. Kalau dibilang secara spesifik, memang bener bahwa ada sedikit pengaruh dari sinema HKCat III, tapi mungkin film yang paling jadi inspirasi buat Pendakian Birahi itu filmnya Steady Rimba berjudul Penyimpangan Sex (1996). Oh, dan gue juga sebenernya rada kepengen film gue level awkwardness-nya bisa setara sama salah satu film slasher kelas B jadul berjudul The Last Slumber Party (Stephen Tyler, 1988), tapi buat sekarang hasil akhir film PB udah cukup memuaskan buat gue hehe. 

HSD : Darimana datangnya ide adegan blowjob pake piso itu? that's sick! haha 

Azzam : Dari mana ya? Pengaruh keseringan nonton film-film eskploitasi atau pinku eiga kaya Lolita Vibrator Torture kali ya hahaha. Tapi waktu itu kepikiran aja gitu dan gue langsung mikir dalem hati, “gue musti bikin film yang ada adegan oral sex pake pisau” hahaha. Di bayangan gue terlihat fun gitu soalnya kalau beneran bisa divisualisasikan ke dalam bentuk film (ngga buat dilakuin beneran ke orang kok hehe). 

HSD :  Menurut gue salah satu ciri film sexploitation era 90an adalah dialognya yang sangat cheesy, dalam 'Pendakian Birahi', kenapa nyaris nggak ada dialog? hehe 

Azzam : Dari awal ketika mengembangkan skrip Pendakian Birahi, gue emang pengen bikin film ini cenderung minim dialog. Fokus gue bener-bener ke adegan-adegan kekerasan dan gimana caranya bikin tampilan visual filmnya berasa 90an banget. Bahkan awalnya film ini mau dibikin tanpa dialog sama sekali, tapi salah satu temen gue yang baca script-nya bilang ada baiknya menaruh beberapa dialog di filmnya. Setelah dipertimbangkan, gue setuju haha.  


HSD : Ceritain gimana proses pembuatan dan peralatan yang kalian pakai saat membuatnya? berapa lama sutingnya? gimana kalian menyiasati budget? apakah ada kendala? dan bagian mana yang paling menyenangkan? 

Azzam : Film kami ini luar biasa sederhana. Produksinya gerilya dengan peralatan syuting kecil-kecilan serta dana produksi yang luar biasa minim. Kita syuting cuma memakan waktu satu hari di sebuah hotel di daerah Pasar Minggu. Yang paling menyenangkan sih ya waktu bagian darah-darahannya. Talent perempuannya sampai sempet beneran muntah karena harus berkali-kali menampung fake blood di mulutnya. Tapi seterusnya syuting berjalan lancar dan menyenangkan sih haha. 

HSD : Ah ya! Kudos buat talent cewenya. Gimana kalian ngeyakinin dia buat mau terlibat di film ini? hehe  

Azzam : Wah Anggi, talent cewe kami, memang warbiyasa. Dia kooperatif sekali dan bahkan sangat membantu saat proses syuting. Dari awal saya dan Timo meeting bersama Anggi, dia langsung menyetujui untuk mengambil peran utama di film pendek sampah kami hahaha. Dia sangat mudah diajak bekerja sama dan orangnya juga ngga ribet haha, bahkan sempet ngasih beberapa usul yang berguna sewaktu di lapangan. Menyenangkan bisa bekerja sama dengan Anggi, meskipun harus memaksa dia untuk syuting sampai dini hari dengan badan penuh darah hahaha. 

HSD : Dan oiya, musiknya keren banget, hahaha itu si Adit ( Aditya Saputra ) ya yang bikin? bisa diceritain dikit mengenai pembuatan musiknya? hehe  

Azzam : Yoi Mas Adit emang keren pisan dah. Waktu itu pertama kali ketemu Mas Adit di PopCon dan ngobrol-ngobrol ama Mas Adit di sana (karena gue pribadi penggemar karya-karyanya Mas Adit). Kemudian gue sama Timo nawarin Mas Adit buat bantuin ngisi scoring film PB. Mas Adit setuju. Selanjutnya gue sama Mas Adit ngobrol via e-mail. Gue langsung ngirimin file film serta guide buat ngisi musik sesuai dengan yang gue pengen. Waktu itu gue kasih referensi scoring musik dari film Hukuman Zinah (Emil G. Hampp, 1996), Wanita Berdarah Dingin (Tommy Burnama, 1994), dan Sex & Kriminal (Walmer Sitohang, 1996). Hasilnya jadi keren mampus hahaha. 

HSD : Zam, misalnye lu gue kasih budget 100M dan gue kasih kebebasan untuk membuat sebuah film, kira-kira film seperti apa bakal lu buat? ceritanya gimana dan siapa yang bakal lo casting?

Azzam : Wah, gue bakal bikin film horor kaya gimane pun asal bareng Nayato Fio Nuala. Anjay itu orang jenius mampus. Kalau misalnya Wong Kar Wai nikah ama Kanti Shah atau Harinam Singh (para filmmaker horor India kelas D) terus punya anak yang gede di era 90an di Indonesia, gue yakin anak itu namanya Yato Fio Nuala, atau yang kita kenal sekarang: Nayato Fio Nuala. Gue bakal ngelakuin apa aja buat bisa bikin film bareng dia. Kalau misalnya gue punya budget dan Nayato mau kerja bareng gue, gue kepikiran mau bikin film Pocong from Outer Space sih. Klenik-Sci-fi. 


HSD : Pocong dari ruang angkasa itu kereeen banget hhaha ayolah bikiin wkwk. Oiya btw, apa lu punya bayangan kalo film semacam itu suatu saat bisa diputer di 21 dan meraih box-office ? atau lu udah ngerasa cukup seneng dgn diputer di event/komunitas kecil atau bisokop grindhouse ( misalnya ) ? 

Azzam : Hahaha kalo ada duitnya sih mau banget bikin! Emang susah sih sebenernya ngeliat apakah ada pangsa pasar buat penggemar film-film kelas B dalam jumlah besar di Indonesia. Atau memang belum ada ya? Kurang tau juga sih. Mungkin karena selama ini belum ada atau jarang yang mencoba untuk secara sadar menggarap film-film horor kelas B murahan seperti Yoshihiro Nishimura, Mark Polonia atau Llyod Kaufman. Di sini kalau film jelek ya jelek yang generic aja, jarang yang bener-bener eskploitatif, atau yang brainless splatter fun gitu atau yang bizarre sekalian. Paling kalaupun ada film-film horor Indonesia yang jeleknya “beda” ya bisa diitung jari dan gue juga gak tau apa mereka bikin itu secara sadar, emang punya taste yang buruk tapi luar biasa naif dan malah ngerasa udah keren, atau lagi ngalamin bad acid trip haha. Kaya Tumbal 97 (temen gue ampe bilang filmnya udah kaya film horor absurd Jepang), 13 Cara Memanggil Setan, Affair (gue selalu bilang ini film arthouse untuk masyarakat kelas bawah, emang cuma kelas menengah atau hipster doang yang bisa nikmatin film-film surreal nan artsy lol), atau Cyin, Tetangga Gue Kuntilanak. 

Gue yakin ada yang bisa nikmatin film-film kelas B sampah di sini, cuma gue beneran belum punya bayangan apakah film-film kaya gitu bisa diterima oleh masyarakat banyak kalo diputar di jaringan bioskop-bioskop konvensional. Mungkin so far yang paling berhasil ya kaya film Azrax haha. Kalau di event/komunitas kecil atau bioskop grindhouse (misalnya) gue rasa itu memang merupakan pilihan yang paling aman buat naruh film-film yang nyeleneh dan absurd kaya gitu hahaha. 

HSD : 'Pendakian Birahi' sudah diputer di event Layar Tancep Indie WR, gimana respon penontonnya? hehe dan oiya, mungkin kamu bisa sedikit cerita apa itu Layar Tancep Indie? 

Azzam : Layar Tancap Indie adalah wadah yang disediakan oleh WR Store untuk yang ingin menyaksikan film-film yang sulit ditemui, jenis-jenis film yang mungkin jarang kalian tonton, dan memberikan pengalaman menonton yang berbeda dari biasanya. Dulu pernah nayangin film aksi kelas B jadul dari Turki, terus juga film zombie murahan dari Jepang, dan terakhir Layar Tancap Indie sempat menayangkan film produksi Nigeria.  Respon penonton saat nonton PB luar biasa. Meriah. Pada beberapa bagian, penonton tertawa terbahak-bahak. Gue mendapati respon yang actually emang gua harapkan saat membesut PB. Dan gue seneng luar biasa. 

suasana screening 'Pendakian Birahi' di Layar Tancep Indie.
  
HSD : Asik ye hehe nah, untuk kedepannya, ada proyek film apalagi nih Zam? 

Azzam : Ada beberapa skrip yang udah jadi tapi belum sempet buat direalisasiin (aka belom punya duit dan waktu buat syuting). Ada satu film pendek horor/mistis yang gue pengen banget bisa dibintangi Titin Kharisma. Gue juga pengen bikin film pendek yang judulnya “Pocong Kesurupan Hitler” tapi belom sempet aja haha. Mudah-mudahan bisa digarap dalam waktu dekat. Doakan saja. 

HSD : Waduh, apaan lagi nih pocong fasis haha. Oiya, Gimana lu melihat film lu sendiri? apa udah puas? kalo belum, bagian mana yang pengen lu perbaiki? 

Azzam : Hmm, memang masih ada beberapa kekurangan di film PB, tapi tetep bersyukur bisa menggarap sebuah film yang sesuai dengan apa yang gue inginkan dari A-Z meskipun dengan produksi seadanya. Mungkin kalau ada bagian yang pengen gue perbaikin, hmm, sound-nya kali ya. Hahaha. 

HSD : 5 film horor/eksploitasi/ trash lokal ( boleh era 90-an boleh bukan ) terbaik versi lu, please 

Azzam : Cuma 5 ya? Wadaw hahaha.  

Kalau ditanya yang berada di urutan teratas film horor terfavorit gue sepanjang masa bisa gue bilang Kairo (Kiyoshi Kurosawa, 2001) ya. 

Film horor lokal terfavorit gue pastinya Affair (Nayato Fio Nuala, 2010). Film itu udah gue tonton ribuan kali, gue sampai hapal semua dialognya. Affair adalah sebuah bentuk film slasher yang hanya bisa lahir dari tangan seorang Nayato. 

Film horor/trash jadul terfavorit gue kayanya The Last Slumber Party (Stephen Tyler, 1988). Eh gue bingung, antara film itu atau Hausu (Nobuhiko Obayashi, 1977) haha. Pilihannya cuma 5 soalnya. Tapi Hausu juga ga bisa dibilang trash ya. Hausu itu masterpiece hahaha. 

Film horor underground terfavorit gue Snuff 102 (Mariano Peralta, 2007)

Film panas 90an lokal terfavorit gue Hukuman Zinah (Emil G. Hampp, 1996). Menghibur dari awal sampai akhir film. 

HSD : Buset, 'Affair' sampe hafal dialognya zam? haha ngomongin Nayato, apa yang membuat lu berfikir kalo beliau itu jenius dan bagaimana dengan KK Dheeraj?

Azzam : Seperti yang gue bilang sebelumnya, nonton film horor Nayato itu bikin gue ngerasa kalau sebenarnya Nayato itu anak hasil perkawinan Wong Kar Wai dan Harinam Singh hahah. Sebenernya alasan gue suka Nayato karena soal selera kali ya, jadi gue luar biasa subjektif kalau ngomongin Nayato. Tapi harus gue akui Nayato adalah filmmaker yang sadar sepenuhnya tentang pasar film lokal dan tahu setiap filmnya mau dilempar ke pangsa pasar yang mana. Lo bisa liat perbedaannya ketika dia bikin film horor-komedi super murah dengan film horor atau genre lain garapannya dia kalau lagi dibikin agak niat. Dari segi pengemasan keseluruhan film, promosi, deretan pemain, sampai desain poster, bakalan keliatan bedanya. Nayato tau kapan harus bikin film untuk penonton yang hanya ke bioskop untuk rekreasi (biasanya datang tanpa membawa referensi apa-apa) atau buat penonton yang emang niat datang ke bioskop.  

Dengan penyiasatan budget sehemat mungkin, Nayato masih dapat merampungkan film-filmnya dengan hasil akhir yang memikat secara visual. Kadang gue ngerasa Nayato rada self-indulgent sih, walaupun bikin film sesuai dengan permintaan produser atau selera pasar, tapi kadang Nayato menyajikannya dengan caranya sendiri, seenak jidatnya sesuai dengan yang dia mau hahaha. 

Dan Nayato selalu bisa bikin sesuatu yang terlihat biasa jadi Nayato banget. Tabung gas elpiji 3 kg, durian, setan jatuh, bokeh. Belum lagi Nayato nyiptain dedemit-dedemit hybrid yang beragam kaya Pocong Kepala Buntung, Hantu Jeruk Purut yang Perawan, Pocong Ngesot. Dia juga bikin banyak sosok-sosok antagonis di film-film horor/thriller-nya luar biasa iconic; kaya pengantin gila bawa-bawa bambu runcing di Pengantin Pantai Biru, atau sekretaris binal di film Sang Sekretaris. Hail Nayato! Sebenernya banyak lagi sih alasan kenapa gue bisa kagum banget ama Nayato (selain karena taste film gue yang luar biasa buruk ya hahaha), tapi takut kepanjangan tar jadi satu buku sendiri jadi disudahi sampai di sini saja trims. 

Kalo KK Dheeraj gue ga bisa ngomong banyak sih, tapi memang ada beberapa filmnya dia yang memorable banget, kaya Rintihan Kuntilanak Perawan (karena faktor Terra Patrick) atau Genderuwo (film pertamanya KK Dheeraj yang gue yakin syutingnya pake Nokia 6300). 

Azzam sedang memberikan pembekalan mental dan keimanan sebelum film diputar

HSD :  Terakhir, yang baca interview ini kemungkinan bakal penasaran ama film lu. so, buat yang kemaren kelewatan acara Layar Tancep Indie nya WR, gimana nih kalo pengen nonton film lu? PB udah disubmit kemana aja dan dimana lagi kira-kira film lu akan ditayangkan 

Azzam : Film PB lagi kita coba submit ke beberapa festival luar negeri. Gak tau deh bakal keterima apa ngga haha. Niatnya supaya orang-orang luar punya gambaran soal gimana absurdnya film-film erotika Indonesia di era 90an. Gue juga sempet ada omongan dengan pihak WR untuk merilis bentuk fisik dari film PB, jadi kalau terlaksana, mungkin bisa nonton film PB dari sana. Dan kalau ada kesempatan untuk submit film PB ke festival-festival lokal, nanti bakal gue kabarin lewat akun twitter gue di :@azzamkalakazam hehe.  

HSD : Terima Kasih sudah meluangkan waktunya, keep up the good work! Kata-kata terakhir buat pembaca blog HSD 

Azzam : Thank you ateng makan kayu! Semoga kalian semua panjang umur dan sehat selalu. 

.................................................

Nah, demikianlah pemirsa, obrolan asik inidisudahi bersamaan dengan gerimis yang mulai jatuh, layar tancep pun menghentikan pertunjukannya dan penonton segera membubarkan diri. Oiya, Yang mau sepik-sepik sama mas sutradaranya atau berminat jadi produser filmnya, bisa  langsung mengontak dia di akun twitter yang sudah di sebutin diatas. 

Oke, Ciao!

( Request List ) Kilas Balik 30 Film Horror Terbaik era 2000-2010

$
0
0
Kalian mungkin bertanya-tanya ada momen apa ini kok HSD tiba-tiba mosting list ginian haha. Ya, list seperti ini lebih tepat diposting di akhir pergantian dekade, atau di awal-awal dekade baru. Tapi, bodo amat deh, blog ini masih bernama Horrorsekarepdewek ( semau-mau yang punya hehe ) selain itu, ini juga dalam rangka memenuhi request dari pembaca. Yes, kalian juga boleh minta request review/list-rekomendasi ( gue akan berusaha memenuhinya ) hanya saja waktu pemuatannya ngga pake deadline ya, kecuali kalian ngasih/ngirim 'sogokan'( seperti pe-request kita kali ini hehe ) berupa film-film, makanan daerah masing-masing, komik, atau buku ( bergenre apa saja ), nah kalo gitu baru deh gue akan mempercepat pemuatannya haha. 

Btw, tapi gue kira akan mudah menyusun list ini, pada kenyataannya gue tetep harus melakukan riset sana-sini, menonton ulang untuk memastikan, bahkan mendownload ulang karena ternyata filmnya udah ga ada di harddisk. Ini membuat akhirnya list rampung dalam waktu yang cukup lama hehe.  

Langsung ke tema utama kita kali ini yaitu dekade 2000an, Ini sebuah dekade yang tercatat memiliki beberapa momen penting ( di dunia film horor ), seperti kebangkitan horror-supranatural Asia ( dipimpin oleh Sadako ) yang kemudian memicu banyak remake versi Hollywoodnya, lalu dari Eropa juga muncul serangan Euro-Extreme yang cukup mengguncang dengan Perancis berada di garda terdepan, dari pusat perfilman dunia sendiri ( Hollywood ), orang-orang jahat berada di era emasnya dalam memburu, membunuh dan menyiksa manusia lainnya ( slasher/torture-porn ), sementara itu, mayat-mayat hidup ( zombies! ) dibangkitkan dari kubur masa lalu, sebagian yang lain mengalami modifikasi genetika modern ( mampu berlari cepat ) dengan berbagai genrenya ( komedi, action, drama ). Meanwhile in South Korea, para pendendam kesumatnya ( Korean-vengeance-crime-thriller ) tampil menggebrak serta mampu menciptakan gelombang baru yang berbeda dari invasi hantu berambut panjang pimpinan Sadako. Selain itu, jangan lupain tren first-person view/handheld camera/mockumentary yang memuncak di dekade itu. Bagaimana dengan horror-lokal kita? kaya yang kita tau, negeri kita saat itu sedang diperkosa setan yang doyan keramas dan goyang pinggul di air terjun, serangan hantu2 model begini sangat masif sampe penonton akhirnya tiba di titik jenuh dan mulai masuklah entri-entri yang cukup segar. 

List ini mengambil materi dari peristiwa-peristiwa penting diatas. 

Buat kalian horror-enthusiast kelas berat, list yang ada disini tentunya merupakan judul-judul yang sangat familiar. Versi DVD nya saat itu sangat mudah ditemui di lapak-lapak, ulasannya mudah ditemukan dimana-mana, stasiun TV udah berulang kali muter filmnya, bahkan beberapa judul udah pernah direview secara penuh di blog ini haha. Pendeknya, ini emang judul-judul dari arus-utama ( mainstream ) sinema horror dekade itu yang gue asumsiin kalian udah menonton filmnya. Untuk itu gue menghapus 'rekomendasi' dari judul list dan menggantinya dengan 'kilas balik'. Soalnya, gimana mungkin gue merekomendasikan sesuatu yang kalian pasti udah nonton hehe. Kemudian gue memilih untuk merewatch semua filmnya, dan mereview ulang  ( dengan singkat ) film-film ini dengan perspektif yang lebih segar. So, ini adalah sebuah throwback/kilas balik. 

Harap diperhatikan juga, mengingat film-film yang ada disini datang dari bermacam genre dan gaya, gue memutuskan untuk tidak meranking filmnya, maksudnya, gue jelas nggak bisa mengatakan kalo A Tale of Two Sisters berada diperingkat yang lebih baik dari Feast, keduanya adalah film yang berbeda ( yang bahagia di genrenya masing-masing ) dan rasanya nggak adil untuk mengatakan yang satu lebih baik dari yang lain. So, ini bukan ranking ya, list disusun berdasarkan tahun perilisan, dari mulai yang terlama sampe terbaru. 

Sori juga buat yang film favoritnya ( terutama dari genre asian-supranatural ) nggak ditemuin disini hehe list ini dibuat berdasarkan selera-subyektif setelah melakukan banyak pemilahan, rewatch dan menimbang-nimbang. Kalian masih bisa nemuin film favorit kalian di list-list lain yang bertebaran diblog-blog sebelah ( dan berbahagialah disana ), atau misalnya masih kurang puas juga, JUST WRITE YOUR OWN FUCKING LIST, GODDAMMIT! 

Terakhir, berikut adalah honorable mention ( yang pastinya akan masuk kalo listnya sampe 50 ) hehe :  Battle Royale, Frontiere's, Shaun of The Dead, Zombieland, The Orphanage, Dog Soldiers, Cold Prey, Dead Snow, 28 Day & Weeks later, Dumplings, Calvaire, The Hills Have Eyes, Final Destination 1, Skeleton Key, Silent Hill, Noroi, Ringu dan The Ring


Ok, folks..cut the crap. Let's get it on!


Frailty ( 2001 ) 

Diilhami kejadian nyata, Frailty memiliki tema yang akan relevan sampai kapan saja ( terutama di Indonesia ) tentang seorang ayah yang tiba-tiba merasa mendapat ilham dari tuhan untuk menghukum ( membunuhi ) orang-orang berdosa, ceritanya kemudian berkembang menjadi semakin disturbing ketika sang ayah memaksa dua puteranya untuk membantu menunaikan 'misi suci' itu. Nah, bukankah kita sering membaca berita tentang orang-orang yang melakukan hal-hal buruk demi alasan keimanan?  Thought-provoking! Selain ceritanya yang solid, film yang merupakan directorial-debut dari (alm )Bill Paxton ( sekaligus pemeran utama ) ini juga didukung penampilan impresif duo aktor ciliknya. Namun kekuatan terbesarnya jelas terletak pada alur flashback yang berhasil memberikan kejutan besar diakhir cerita. Yup, super twist! Sangat direkomendasikan untuk penikmat psikologikal-thriller gelap dengan kejutan dan belokan tajam di ceritanya, sementara untuk para gorehound..hmm, mengingat semua kekerasannya tampil off-screen, silahkan untuk nge-skip yang satu ini. 


Pulse/kairo ( 2001 ) 

Dibuat di era awal internet, Kiyoshi Kurosawa udah sigap manfaatin tema itu ( internet ) untuk diintegrasikan kedalam cerita filmnya. Pulse juga berbicara tentang kematian dan kesepian yang gue bahkan ga berani memikirkannya karena terlalu menakutkan. Hantu dalam film ini tidak tampil seperti tipikal hantu Jepang lainnya ( yang malah membuat gue ketawa pas ngeliatnya ), tapi lebih ke penampakan sosok-sosok blur dengan gerakan tidak wajar yang menebarkan aura unsettling nan creepy layaknya video penampakan disturbing-aneh yang biasa gue temuin di deep web.  Meski alurnya terasa lambat, Kiyoshi Kurosawa berhasil memaksimalkan atmospir eerienya untuk membuat Pulse tampil mencengkeram. Ini beneran haunting dan merupakan salah satu dari segelintir film yang berhasil membuat bulu kuduk gue meremang saat menontonnya.



The Devil's Backbone  ( 2001 ) 

Nggak pernah tertarik film ini sampe salah satu temen gue ngelabelin ini sebagai film horor terbaik versinya. Gue coba nonton, dan hmm..mungkin bukan yang terbaik, kalo salah satu yang terbaik, iya. The Devil's Backbone berkisah tentang anak-anak di sebuah panti asuhan terpencil saat perang sipil Spanyol meletus di tahun 1939, di setting itulah kemudian Guillermo Del Toro memulai dongeng hantunya. The Devil's Backbone seperti film-film Del Toro lainnya yang senang bermain atmosfir dan elemen gotik. Tensinya cenderung lambat namun dibayar dengan production-value yang solid di semua lini. Dan oiya satu hal yang gue pelajari dalam film ini, hantu boleh bergentayangan kesana kemari, namun ancaman terbesar selalu datang dari mereka yang masih hidup. 


The Others  ( 2001 )  

Sejujurnya, tema supranatural dan rumah berhantu ( baik produk Hollywood atau Asia ) selalu membuat gue skeptis. Bukan apa-apa, tema ini terlalu membosankan. Meski ada juga yang sangat bagus seperti Kwaidan ( 1964 ) atau Under The Shadow  (2016 ), tapi gue lebih sering mengalami kekecewaan saat nonton film bergenre ini. Nah, salah satu horor-supranatural yang tidak berakhir mengecewakan adalah garapan Alejandro Amenabar ini. Berlatar usai perang dunia di tahun 1945, The Others bercerita tentang Grace ( Nicole Kidman ) yang tinggal bersama dua anaknya ( yang menderita alergi terhadap sinar matrahari ) di sebuah mansion tua. Kaya banyak film bertema serupa, The Others memiliki klise-klise macam pintu terbuka sendiri, suara-suara aneh, dllsb. Untungnya, latar jadul dan elemen gotik yang dipilih Amenabar berhasil menguatkan atmosfer dark and creepy yang membuat gue sabar menanti. Lalu ketika film gue pikir udah hampir mencapai konklusinya ( dan gue udah bersiap kecewa lagi ), tiba-tiba aja gue dikejutkan bagian endingnya yang bagaikan sebuah gol injury time nan spectacularly-stunning di sebuah pertandingan bola yang cukup membosankan. Sadarlah gue kalo Amenabar sudah merancang cerita film ini sedemikian cermat. Deliciously-twisty!

A Tale of Two Sisters ( 2003 ) 

Plot film forror-psikologikal besutan sutradara Kim Jee-Woon ini berpusat pada kisah Su-Mi, seorang gadis pra-remaja yang baru aja keluar dari rumah sakit mental dan kembali tinggal bersama adik tersayang, ayah, dan ibu tirinya.  Namun, belum lama kembali kerumah, Su-Mi mulai mengalami mimpi buruk dan gangguan supranatural. Satu masalah lain yang dialami Su-Mi dirumah adalah hubungannya dengan sang ibu tiri ( Eun-Joo )yang tak akur. Seiring berjalannya cerita, perang dingin dua-bersaudara dengan ibu tirinya ini semakin meruncing dan berujung pada terungkapnya sebuah fakta yang sangat mengejutkan. 

Seperti kebanyakan film horor Asia, film berjalan sangat lambat dan gue sempat merasa skeptis ketika bagian pertama film seperti mengarah ke model asian-supranatural-horor lengkap dengan hantu oriental berambut panjangnya. Namun kemudian cerita semakin misterius, dan film mulai menebar potongan puzzle yang didukung sinematografi cantik, editing matang, dan penampilan duo artis ciliknya yang tampil memukau.  Pada awal third-act terungkaplah sebuah twist besar, abis itu film berjalan dengan gaya chronological-reverse ( yang cukup membingungkan, tapi untungnya gue bisa ngerti hehe )..dan mendekati akhir ohh..sodara-sodara mungkin ini satunya-satunya film horor dimana gue harus mengusap mata karena merasa ada genangan air disana. Dasar Korea! haha. Kim Jee-Woon jelas baru aja membuat karya sinema yang berhasil menggabungkan horor supranatural, misteri, thriller psikologis, dan drama peremuk-hati dengan cara stylish yang tak mampu disamai versi remake Hollywoodnya, The Uninvited ( 2009 ).


Identity ( 2003 ) 

Pada kesempatan pertama nonton film ini bertahun-tahun silam, gue sempat mengalami kebingungan dengan ceritanya. Pun ketika Identity berkali-kali diputer di televisi. Sampe akhirnya kemaren ( demi menyusun list ini ) gue mencoba rewatch film besutan James Mangold yang merupakan adaptasi bebas dari novel And There Were None nya Agatha Christie ini, dan ternyata....gue tetep aja bingung.  Haha kidding. Yah gue emang mengira ini cuma thriller misteri pembunuhan generik dimana sekumpulan orang yang terjebak di sebuah motel ( karena badai ) satu persatu tewas mengenaskan oleh seorang pembunuh yang kemungkinan besar ada diantara mereka. Lalu kita pun mulai menebak-nebak siapa pembunuhnya. Nah, bukankah sebuah plot 'who's the killer?' yang udah sering kita liat berulang kali?. Tapi tunggulah sampe bagian third-act nya ketika semua terungkap, kemungkinan besar kalian akan salah menebak! meski idenya cukup absurd ( terutama buat gue yang kurang mengerti ilmu psikologi ), ini tetep aja mindblowing. Maka ketika film berakhir ( dan akhirnya gue ngerti ceritanya ), tanpa ragu gue ngelabelin Identity sebagai thriller-psikologikal yang highly original one.


Dead End ( 2003 )

Ini sebuah film kecil yang cukup underrated. Bercerita tentang perjalanan malam natal sebuah keluarga yang tiba-tiba berubah menjadi mimpi buruk tanpa akhir ketika mobil mereka nyampe disebuah ruas jalan sepi penuh misteri. Naskah Dead End cukup rapi  dan berhasil memadukan humor gelap, horor dan misteri yang dibalut atmosfir eerie yang meremangkan bulu roma. Gore nya minimal tapi efektif , sementara twist di bagian finalnya mungkin terasa 'been there, done that', tapi tidak mengurangi keasikan film produksi Perancis  garapan Jean-Baptiste Andrea yang diperkuat Lin Shaye ini. I love this little gem. Sebuah horor sederhana yang bisa menjadi contoh dari apa yang bisa kita buat dengan budget kecil, cast minimal dan lokasi terbatas. 



Haute Tension ( 2004 ) 

Seperti judulnya, Haute Tension ( High Tension ) sudah menggeber tensi tingginya sejak menit 25 ketika diceritain seorang sopir truk gendut-jelek tiba-tiba menginvasi sebuah rumah terpencil, kemudian ngebantai penghuninya dengan brutal  tanpa motivasi yang jelas. Sejak saat itu, tensi film nggak pernah mengendur sedikitpun sampe rolling credit. Merupakan film yang melambungkan nama Alexandre Aja ( sutradara ), Haute Tension menampilkan banyak sekali adegan violence ekstrim dari mulai kepala digusruk lemari, eksplisit slit throat, sampe chainsaw bloodbath yang hanya bisa disamai oleh adegan Mia menggergaji setan di remake Evil Dead. No silly character, no joke, no dark humor, ini beneran sajian kekerasan nonstop tanpa kompromi yang membuat gue bahkan tidak sempat untuk mengeluh apa sebenarnya yang sedang terjadi dilayar. Titik lemah film ini menurut gue ada pada twist-endingnya yang terkesan curang dan tidak sinkron dengan apa yang udah ditunjukin di paruh pertama dan keduanya. Entah kenapa, Aja memilih cara seperti itu, padahal misalnya beliau mau dikiiit aja mengolah ( dan ngedit ) beberapa sekuens di bagian paruh awalnya agar fit ama ide twist yang ditawarkan, tentunya sajian keseluruhannya akan terasa lebih solid. Tapi, kaya yang udah dibilang, semua violence dan ketegangan nonstopnya berhasil membuat adrenalin gue mengalir cepat sepanjang film, itu kompensasi yang cukup untuk membuat gue ikhlas memaafkan tricky-twistnya hehe. Tanpa ragu, Haute Tension adalah salah satu judul esensial dari gelombang french-extremity yang meledak di dekade itu. 



Dawn of the Dead ( 2004 ) 

Dawn of the Dead dibuka ama 10 menit opening sekuens ( yang sama epiknya ama opening sekuens 28 Weeks Later ( 2007 ) ) ketika wabah zombie tiba-tiba merebak di kota Milwaukee dan salah satu main-character kita, Ana ( Sarah Polley )harus pontang-panting nyelametin diri dari keluarga dan tetangganya yang tiba-tiba berubah menjadi zombie,  Abis itu kita akan langsung dibawa ke plot-utama nya, yaitu tentang sekelompok survivor zombie-apokalips ( termasuk Ana ) yang mempertahankan diri di sebuah mall. 

Secara mengejutkan, ini adalah sebuah worthy-remake dari seorang sutradara debutan ( Zack Snyder ) yang tetep ngasih tribut buat versi klasiknya ( 3 aktor dari versi orinya menjadi cameo disini ) sekaligus memolesnya dengan sentuhan sendiri. Apa itu? yeah zombie lari. Bener, ngga kaya mayat idup di versi George Romero ( 1978 ) yang lambat, zombie versi Snyder ini mampu berlari dengan cepat yang mana ini membuat film juga berjalan dengan fast-paced dan tensi tinggi ( layaknya film aksi ). Berita buruknya, keputusan itu juga membuat film kehilangan suspense dan atmosfir creepynya. Tapi overall, ini tetep hiburan enteng yang berenergi, colorful, fun ( terutama jika dibandingkan 28 Days Later yang terasa muram dan filosofis ) dan merupakan remake-zombie terbaik di dekade itu. Kalo remake terbaik sepanjang masa buat gue sih masih tetep Night of the Living Dead nya Tom Savini ( 1990 ). Oiya terakhir, ini bukan film pertama yang nampilin zombie lari ( dan bukan pula 28 Days Later ), Return of Living Dead udah lebih dulu ngelakuin itu di tahun 1985!



Saw ( 2004 ) 

Gue bukan penggemar franchise Saw dan nggak pernah antusias kala mendengar sekuel terbarunya sedang dibuat.  Tapi film pertamanya adalah penanda penting dari dekade 2000an yang banyak menginspirasi para copycat, mencetuskan term 'torture porn', dan bahkan melahirkan ikon baru dunia horor bernama 'Jigsaw Killer'. Ya, sutradara James Wan seperti mendapat jackpot saat directorial debutnya yang semula direncanakan straight-to-dvd ini akhirnya dirilis worldwide usai mendapat sambutan positif di festival Sundance. Kaya yang kita tau, Saw kemudian sukses secara komersial. Bercerita tentang dua orang asing yang terbangun dalam keadaan terantai di sebuah ruangan, film kemudian mulai menebarkan misteri dan teka-teki nya. Meski gripping dan memiliki banyak jebakan sophisticated, tapi menurut gue, Saw memiliki beberapa kelemahan seperti  : plothole disana sini ( termasuk di twistnya ), cut-to-cut editing yang kurang rapi dan membuat flow nya terasa jumpy, serta ide tentang ngasih pelajaran orang yang nyia-nyiain idup dengan naro mereka di sebuah permainan maut yang terlalu mengada-ada ( and they take it way too serious! ). Tapi meski begitu, gue udah banyak ngeliat yang jauh lebih buruk dari ini. Terakhir, kaya yang udah gue bilang diatas, ini film penting, gue masih merekomendasikannya, terutama kalo kalian sedang membuat skripsi berjudul " Pengaruh Saw dan gelombang torture-porn di era 2000an dalam kehidupan bernegara". #apeu



The Descent ( 2005 ) 

Mengambil setting didalam sebuah gua, The Descent udah punya keuntungan yang sangat mendukung Neil Marshall( sutradara ) dalam usahanya nge-build up teror : kegelapan dan ruang sempit. Namun, itu aja belum cukup, maka skripnya juga naro makhluk penghuni gua ( Crawlers ) yang siap memangsa all-female-casts kita. Tiga hal itu ( kegelapan, ruang sempit dan monster ) kemudian menjadi elemen penting The Descent saat menyajikan horror-survival-claustrophobicnya. Buat para gorehound, darah dan gore yang ditunjukin emang nggak pernah nyampe level ekstrim, namun itu udah cukup untuk menambah sense of fear, panic, and terror yang hendak dicapai.  Satu weak point yang gue catet adalah ketika skripnya nyoba ngembangin cerita dengan masukin konflik ( yang terasa dipaksakan ) pada dua karakter utama kita, bukan apa-apa, konflik itu ternyata berawal dari sebuah kesalahpahaman bodoh huft. Diluar itu, The Descent tetep merupakan sajian yang berhasil ngasih sensasi claustrophobic-intense dari dalam kegelapan gua bawah tanah yang dihuni makhluk-makhluk karnivora. Oiya, sekuelnya nggak istimewa, mending kalian cek karya Neil Marshall sebelum ini,Dog Soldiers ( 2002 ).



Feast ( 2005 ) 

Memiliki plot tipis ( setipis harapan gue buat jadi kaya raya dalam waktu dekat ) tentang sekumpulan orang di sebuah bar terpencil yang diserang oleh kawanan monster ganas, John Gulager tanpa banyak basa-basi langsung menggelar sajian fun gore-fest nya. Haha beneran, yang ini bagian awal introduksi para karakternya saja sudah terasa komikal dan menyenangkan dengan menyertakan 'Fun Fact' dan 'Life Expectancy' yang nunjukin kalo semua calon daging segar kita ini cukup retard buat dimakan monster. Satu-satunya karakter pria kekar bershotgun yang diperkenalkan sebagai 'hero', secara mengejutkan langsung tewas dicaplok monster tepat sesaat setelah dia ngucapain oneliner badass ( diiringi dramatic backsound )" im the guy that's gonna save your ass ". Hahaha hilariouuus! Kalian yang pengen horornya penuh cipratan darah, organ tubuh termutilasi, cairan-cairan menjijikan, aksi konyol, hilarious gore ( satu yang paling bikin ngakak adalah penis monster yang kejepit pintu haha ), practical effect, f-words, hot chicks  and boobs jelas kudu ngecek yang satu ini. Sedikit keluhan adalah ketika kamera terlalu sering ngambil gambar secara close-up, untungnya, itu sama sekali nggak ngurangin keasikan film ini hehe. Oiya, silakan cek juga bagian ke 2 ama ke 3 nya!


Slither ( 2006 ) 

Apa yang asik dari film directorial-debut James Gunn ( sutradara ) yang juga merupakan lulusan Troma Studios ini adalah ketika dia memutuskan untuk membuat banyak sekali homage dari film-film sci-fi monster kelas B favoritnya. Dari mulai The Blob, Invasion of The Body Snatchers, Shivers, From Beyond, Society sampe The Fly. So, ini semangat bermain-main tanpa pretensi  seperti yang juga udah pernah dilakukan Fred Dekker dalam Night of The Creeps. Ceritanya sendiri tentang teror yang melanda kota kecil setelah sebuah meteorit berisi parasit jatuh disitu. Haha sangat cheesy, tapi bodo amat film model ginian nggak pernah gagal dalam menghibur gue.  Komikal, pekat ama dark-humour, menjijikan ( namun bikin ngakak ), dan setia pada practical effect ( penggunaan CGI disini ada dalam batas yang bisa dimaklumi ). Pendeknya, Sangat sangat menyenangkaaaan! Penggemar monster berlendir dan slimy-crawling-creatures pasti nya bakalan bersorak saat menontonnya. Sayangnya film ginian jarang dibuat ye huhu Gue sih tau alesannya,  jelas karena film seperti ini sering flop di box office ( termasuk film ini ). Yah, dunia memang tidak adil.



Behind The Mask : The Rise of Leslie Vernon ( 2006 ) 

Bercerita tentang kru film dokumenter yang mendapat akses eksklusif untuk meliput aksi seorang 'serial killer enthusiast' dalam menyiapkan pembantaiannya, sutradara Scott Glosserman berhasil bersenang senang dengan elemen dan klise-klise dalam genre slasher untuk diolah menjadi sajian meta yang sangat cerdas dan segar. Paruh pertama dan keduanya bergaya mockumentary/handheld camera sebelum akhirnya di bagian third-act berubah sepenuhnya menjadi slasher konvensional kaya yang kita kenal. Darkly funny dan hilarious! Ini film yang sangat inovatif, memiliki skrip solid dan twist pintar. Tanpa ragu, The Rise of Leslie Vernon adalah yang terbaik jika dibanding film-film lain yang memiliki ide similiar seperti Tucker & Dale Vs Evilatau The Final Girls. Jangan lupain penampilan cameo Robert Englund dan oiya, sekuelnya konon udah siap dan akan rilis dalam waktu dekat. Yeay!


Inside / A l'interieur ( 2007 ) 

Ide awal Inside bermula dari Julien Maury dan Alexandre Bustillo ( duo sutradara ) yang ingin membuat sebuah film slasher dimana villainnya adalah seorang perempuan. Menurut mereka, cerita tentang psikopat cowo yg membunuhi perempuan sudah terlalu klise di subgenre tersebut. Jadi mereka mulai mengolah ide itu dan berfikir, kiranya motivasi apa yg membuat seorang perempuan memburu perempuan lainnya? Hasil dari brainstorming itu adalah cerita dalam film ini, yaitu ( bisa gue tulis dengan singkat ) : tentang  perempuan gila yang menginvasi rumah seorang perempuan hamil demi ngambil janinnya. Haha simpel, ya.  Nah hebatnya, dengan ide cerita linear-sederhana ( dan setting ) minimalis seperti itu, duo Maury-Bustillo berhasil maksimalin semua potensi dan resourcenya untuk diolah menjadi sebuah sajian dengan daya gedor maksimum yang segera membuat Inside bertengger di jajaran teratas film-film 'french-extremity' terbaik dekade itu. Menit-menit pertamanya berjalan cukup lambat, minim dialog dan terasa sunyi. Tapi tunggu sampe menit ke 30an ketika La Femme( Beatrice Dalle yang mukanya udah serem dari sononya ) mulai masuk ke kamar protagonis kita dan maen-maenin gunting diperut hamilnya. Setelah itu bersiaplah dengan gelaran kebrutalan level hardcore tanpa henti dari mulai tusuk menusuk, bacok membacok, darah moncrot, sampe kepala meledak yang ditampilin tanpa ragu di layar. Dan gue bahkan belum cerita tentang  sebuah sekuens 'keterlaluan' di bagian menjelang akhir nya haha. Sementara itu, tensi ketatnya didukung ama scoring bizarre ( lebih mirip noise-distorsi ) yang berhasil menambah teror dan aura 'sakit' film ini. Singkatnya, ini adalah sebuah slasher-home invasion yang akan membuat para gorehound terpuaskan. Minimalis namun sangat efektif dan segera menjadi contoh gimana sebuah slasher seharusnya dibuat. P.S : tidak direkomendasikan untuk ditonton perempuan hamil!

BERSAMBUNG KE PART 2

( Request List ) Kilas Balik 30 Film Horror Terbaik era 2000-2010 | PART 2

$
0
0
PART 1 CEK DISINI

 
REC ( 2007 ) 


Dalam film bergenre found footage/handheld camera garapan duo sutradara Spanyol Jaume Balaguero dan Paco Plaza ini kita diajak langsung untuk mengikuti liputan reporter muda  dan kameramennya ( yang menjadi mata kita ) ketika mereka tak sengaja terjebak dalam sebuah apartemen yang tiba-tiba dikarantina oleh militer karena merebaknya sebuah wabah misterius yang mampu merubah seseorang menjadi zombie ganas. Suspenseful, thrilling, creepy, scary and gory! Asiknya, intensitasnya tak mengendur bahkan terus menanjak hingga menit terakhir. Tak diragukan, REC adalah produk terbaik dari subgenre handheld camera yang booming di dekade ini. Sekuelnya tak kalah asik, tapi kalian bisa ngeskip yang ke 3, ke 4, ama versi remake hollywoodnya ( Quarantine ). Dan jangan malah nonton yang ini. Itu mah keterlaluan bodohnya hahahaa. Oiya, satu lagi pemeran Angela( Manuela Velasco ) enak diliat dan menggemaskan dengan rambut kepang dua dan lumuran darah di singlet ketatnya.  



1408 ( 2007 ) 

Merupakan adaptasi dari cerita pendek Stephen King, 1408 bercerita tentang Mike Enslin( John Cussack ) seorang penulis yang banyak mendatangi tempat-tempat berhantu hanya untuk mereview buruk tempat-tempat itu. Ya, Mike memang sinikal dan sama sekali tidak percaya hantu. Sampai ketika pada suatu hari dia menemukan berita tentang misteri kamar 1408 di sebuah hotel mewah. Tanpa pikir panjang, Mike mutusin untuk menginap di kamar itu.  Nah, gue udah khawatir kalo ini kemudian akan menjadi seperti film-film 'tempat-berhantu' lainnya, untungnya 1408 kemudian berhasil menghadirkan teror dengan sangat meyakinkan terutama berkat pendekatannya yang lebih psikologikal. Tensinya ketat sementara auranya terasa creepy dan unsettling. Meski demikian, tanpa performa-solo John Cussack yang impressif, 1408 kemungkinan bisa jatuh menjadi sebuah film yang gagal. 



The Mist ( 2007 ) 

Sekumpulan orang terjebak dalam sebuah toko kelontong ketika badai kabut tiba-tiba menyerang kota. Mereka tak bisa keluar dari toko karena monster-monster mengerikan sudah menunggu untuk memangsa siapapun dari balik pekatnya kabut. 

Ini sebuah adaptasi lain dari cerita Stephen King yang meski bisa dilabeli sebagai film monster, tapi ide sentralnya adalah eksplorasi bermacam karakter manusia ketika berada pada posisi lemah di sebuah situasi genting yang mengancam jiwa. Salah satu karakter paling ngeselin yang gue inget adalah emak-emak yang menjadi irasional dengan melakukan cocoklogi mengait-ngaitkan bencana itu dengan hukuman tuhan. Dia mulai berkotbah. Meski awalnya diacuhkan, ketika situasi memburuk sebagian besar dari mereka akhirnya menjadi pengikutnya. Dalam situasi yang lemah, kebanyakan manusia akan berusaha mencari pegangan, bahkan jika itu menyambar kewarasannya..bukankah begitu?  Hehe ini menarik untuk didiskusikan lebih lanjut hehe Dan oiya! Jangan lewatkan bagian finalnya yang sudah berhasil membuat banyak orang menjambak rambutnya sendiri hehe


Planet Terror ( 2007 )  

Planet Terror adalah bagian dari double-feature berjudul 'Grindhouse'  bersama Death Proof nya Quentin Tarantino  yang dibuat  sebagai homage/tribut untuk bioskop grindhouse ( bioskop kelas B yang khusus menayangkan film2 cheapo-exploitation ), sebelum keduanya akhirnya dirilis terpisah. Indonesia sendiri tidak mengenal term grindhouse ini, tapi bioskop kampung di era 70/80/90 an praktis adalah sebuah grindhouse. Dan melalui film ini, Robert Rodriguez  dengan semangat bermain-main yang kuat mengajak aundiens untuk kembali merasakan sensasi ( meski fake ) pengalaman menonton film murahan disebuah bioskop kampung murahan, lengkap dengan 'trailer palsu' serta noise and missing reel nya. Haha tentunya kalian udah bisa memperkirakan kandungan filmnya, yah eskyen absurd, ledakan-ledakan besar, blood splatter, karakter cheesy ( dengan nama cheesy ), one-liners, zombies, hot chicks, serta disgusting and hilarious gore dari mulai kepala meledak sampe biji peler Quentin Tarantino meleleh! ceritanya? hah? masih peduli ceritanya? just enjoy the fucking show!


Eden Lake ( 2008 )

Dibuat hanya berselang setahun dari kasus pembunuh berantai remaja 'Dnepropetrovsk Maniacs'yang mengguncang Eropa ( khususnya Ukrainia )Eden Lake memiliki pesan dan komentar sosial yang kuat tentang media, perilaku agresif dan kekerasan pada remaja ( yang dicetuskan oleh banyak faktor seperti bullying, orang tua abusif serta ketimpangan sosial ). Gue menduga thriller british garapan James Watkins ini memang diilhami kasus itu. 

Premisnya sendiri tentang liburan akhir pekan sepasang kekasih di danau terpencil yang dikacaukan oleh tingkah polah remaja lokal. Gangguan yang awalnya masih bisa dimaklumi sebagai kenakalan remaja, tiba tiba saja memburuk menjadi sebuah perjuangan survival hidup mati. 

Film kemudian berjalan dengan tensi yang ketat diimbuhi banyak adegan kekerasan disana sini. Eden Lake jelas bukan jenis tontonan hiburan, temanya begitu mengganggu dan memiliki devastating-ending yang membuat gue menghibur diri sendiri dengan berkata " ini cuma film..ini cuma film..ini cuma film.." , sayangnya meski cerita dalam Eden Lake emang rekaan, hal yang lebih buruk emang beneran terjadi didunia nyata. Kaya yang udah gue bilang diatas, trio remaja asal kota Dnepropetrovsk, Ukrainia tertangkap setelah satu video rekaman pembunuhan mereka ( merupakan video paling sadis yang beredar di internet, dan gue nggak sanggup nontonnya sampe abis  ) tersebar di Internet. Mereka terbukti melakukan 21 pembunuhan! Nah, sekarang keheranan Zombem di review ini tentang gimana mungkin orang dewasa ga bisa ngelawan segerombol berandal ABG terjawab. Itu emang bisa terjadi. Remaja2 asal Ukrainia itu membuktikannya. Never underestimate preman tanggung, zom!


Martyrs ( 2008 ) 


Dalam Martyrs, ada banyak pertanyaan menyeruak saat dimenit-menit awal kita ngeliat pembantaian berdarah dingin sebuah keluarga ( yang terlihat baik-baik ) oleh seorang perempuan muda, Lucie ( Mylene Jampanoi ) menggunakan shotgun. Itu adegan yang sangat brutal. Film berjalan, kita kemudian akan tau kalo keluarga itu ( khususnya sang ayah ), mungkin pernah melakukan hal-hal yang sangat buruk pada Lucie. So, ini semacam revenge? tapi kemudian muncul sosok makhluk kurus mengerikan yang tiba-tiba menyerang Lucie. Makhluk apa pula ini? hantu? mutan? 

Ya, Pascal Laugier ( sutradara ) membuat paruh pertama Martyrs berjalan dengan tensi sangat tinggi. Darah tertumpah dimana-mana dan kekerasan-hardcorenya datang bertubi-tubi nyaris nggak ngasih kita jeda buat ngambil nafas. Tapi pertanyaan tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi sendiri masih belum terjawab. Sampe akhirnya, film tiba di paruh keduanya ketika teman Lucie,Ana( Marjana Alaoui ) menemukan ruang bawah tanah dirumah itu. Inilah momen ketika film berubah genre dari sebuah home-invasion nan brutal menjadi torture-porn yang depressing. Bagian ini pula yang banyak dikeluhkan audiens sebagai membosankan karena memang tak banyak yang terjadi selain adegan cewe dirantai dan diperlakukan buruk oleh orang-orang  misterius.  Sungguh bertolak belakang dengan tensi tinggi di paruh pertamanya. 

Tapi honestly,  gue sendiri nggak punya masalah ama bagian paruh kedua ini ( ini cukup aneh kalo nginget torture-porn tuh bukan genre favorit gue hehe ). Pertama, karena segala metode penyiksaan ( fisik dan psikis ) yang dilakukan disini ternyata emang dirancang untuk membuat subyeknya berada diujung kematian ( dan bukan untuk membuatnya tewas dengan 'siksaan-kreatif' ). Kedua, gue bisa mengapresiasi ide utamanya. Cukup original, provokatif dan terus terang membuat gue ikut penasaran " apa sebenarnya yang dilihat manusia diujung kematiannya? ". So secara keseluruhan, meski paruh keduanya berjalan tidak semenarik paruh pertamanya, Martyrs tetap sebuah sajian disturbing nan whatthefuck yang menjadi salah satu judul esensial dari booming french-extremity di dekade itu. Silahkan tonton dengan resiko sendiri


Trick 'R' Treat ( 2008 ) 

Ini sebuah film kecil 'straight-to-dvd' garapan Michael Dougherty yang berhasil bersenang senang dengan semangat selebrasi pada sebuah hari dimana monster buah labu, legenda urban, iblis, roh jahat, mitos dan tahayul keluar dari alam kematiannya. Memiliki 5 cerita random yang bersinggungan satu sama lain ( model yang sama kaya yang kita liat di 'Southbound', cuman yang ini satu tone ama 'Tales From The Crypt') Trick 'r' Treat menyajikan fairy-talenya yang meski nampak seperti film anak-anak namun nggak ragu buat nunjukin kekerasan atau darah dibagian yang emang ngebutuhin itu. Jangan khawatir, karena ini sebuah perayaan, maka semua bagian berdarah-darahnya pun dikemas komikal agar tetap menyenangkan. Satu isu minor buat gue adalah bahwa disebuah film antologi kaya gini selalu ada satu bagian cerita yang terasa sedikit flat. Tapi lupakan, itu sama sekali nggak ngurangin keasikan Trick 'r' Treat sebagai film menyenangkan dengan semangat perayaan Halloween yang kuat. 


Triangle ( 2009 ) 

Diceritakan, sebagai single mother dari seorang anak autis, Jess ( Melissa George ) bukanlah seorang contoh yang baik. Suatu hari, Jess memutuskan ikut pergi berlayar bersama kawan-kawannya. Hari yang seharusnya menyenangkan itu berubah ketika tiba tiba badai datang dan menenggelamkan kapal kecil mereka. Untungnya, sebuah kapal besar bernama 'Aeolus' melintas. Jess dkk pun memutuskan menaiki kapal itu untuk mencari pertolongan. Namun ternyata tak ada seorang pun disana. Ya, kapal itu kosong! Dan sebuah misteri yang berujung pada konklusi mengerikan pun mulai menyergap mereka.

Gue pernah salah menginterpretasi ide cerita thriller-psikologikal garapan Christopher Smith ini, tapi anehnya bahkan ketika gue salah pun gue masih bilang kalo film ini bagus hahaa . Sepertinya gue terpikat dengan atmosfir unsettling-creepy dan pekatnya misteri dalam film ini. Adegan yang diulang-ulang ( seperti yang juga ditampilkan dalam Time Crimes  -2007- ) itu nyaris membuat otak gue meledak sementara satu adegan dimana mayat orang yang sama bertumpuk-tumpuk di satu tempat masih teringat sampe sekarang. Creepy. Ke eerie-an Triangle semakin berlipat pas gue nonton ini untuk kedua kali dan akhirnya mengerti ide ceritanya ( yang rupanya similiar ama Dead End ). Ini jelas sebuah triller-misteri yang brillian! Selain itu, tentu saja jangan lupain Melissa George yang tampil seksi sepanjang film ehe.


Rumah Dara ( 2009 ) 

Masih teringat betapa gue dulu rela berhimpitan di gerahnya Metromini butut yang berjalan merayap menembus kemacetan demi menuju Blok M Square yang saat itu sedang menayangkan film ini di hari pertamanya. Sebuah antusiasme yang kemudian dibayar lunas Mo Brothers!. Mengusung genre slasher, Rumah Dara nggak nyoba nawarin sesuatu yang baru di subgenre spesifik ini dan lebih milih bersenang-senang dengan melakukan tribut untuk slasher klasik Texas Chainsaw Massacre ( 1974 ) dan Inside / A I' interieur ( 2007 ) nya Maury-Bustillo. Semangat having-fun tanpa pretensi inilah yang kemudian membuat semua keklisean dalam Rumah Dara termaafkan dan tetap terasa menyenangkan. 

Plotnya simpel aja, sekumpulan orang terjebak dalam rumah keluarga disfungsional-kanibal, dan mereka harus berjuang idup-mati agar bisa selamat.  

Yah, gue emang nggak berharap banyak dan asiknya Mo Bros berhasil ngasih semua yang gue harepin pas mutusin nonton ini. Violence, blood, gore, dark humor serta Julie Estelle pake singlet ketat berlumur darah hehe. Bloody FUN! Kredit khusus untuk bagian make-up, penata suara, dan gore-effect nya. Satu isu minor adalah, sensornya ( saat itu di bioskop ) cukup mengganggu. Untungnya, beberapa tahun kemudian gue bisa rewatch versi uncutnya bersama temen-temen di proyektor, dan ternyata kesenangannya menjadi berlipat. 

Rumah Dara adalah tontonan hiburan yang sadar diri dengan ke 'b-movie' an nya, jujur, tidak berpura-pura pintar, fun, dan jelas menjadi penyegar sinema horor lokal yang saat itu tengah dipenuhi horor-sex buruk dan oiya, ini masih menjadi yang terbaik dari duo Mo.


The Last House on The Left ( 2009 ) 

Yang ini adalah remake film klasiknya Wes Craven ( The Last House on the Left  - 1972 ) yang plotnya terinspirasi dari cerita dalam The Virgin Spring ( 1960 ) garapan Ingmar Bergman. Ide utamanya simpel, yaitu mengeksplorasi kemungkinan apa yang akan terjadi jika sebuah keluarga baik-baik ( keluarga Collingwood ) akhirnya menyadari kalo orang-orang yang sedang menginap dirumahnya malam itu ternyata para penjahat-buronan bengis ( Krug Cs ) yang udah memperkosa dan menganiaya puteri mereka sampe sekarat. 

Nah, perhatikan, premis sederhana diatas hanya akan bekerja jika film mampu membuat audiensnya terlibat secara emosi, untuk itu film harus maksimalin tiga elemennya : protagonis, antagonis serta tragedi-mengerikan yang terjadi. Dan mereka berhasil melakukannya! 

Ya, gue udah bisa mengharapkan hal-hal buruk terjadi pada orang-orang se-keji Krug cs( dimainkan dengan impresif oleh para cast nya  ) sejak paruh pertama, terutama usai mereka memperkosa dengan brutal puteri keluarga Collingwood. Itu sebuah adegan yang menyakitkan untuk diliat dan mengingatkan pada apa yang dialami Monica Bellucci dalam Irreversible. Film menjadi thriller ruang sempit yang intense ketika setting berpindah kedalam rumah ( dimana Krug cs tanpa sadar menginap dirumah keluarga Collingwood), sebelum akhirnya meledak menjadi sajian aksi kekerasan random ( bukan bales dendam yang sistematis ) dimana setiap kematian yang terjadi sangatlah memuaskan untuk diliat, terutama menjelang rolling credit haha. Dennis Iliadis ( sutradara ) jelas udah berhasil memanfaatkan dukungan budget besarnya untuk nge-push semua potensi dan resource yang dulu kurang mampu dieksplorasi Wes Craven karena terkendala minimnya dana. A worthy-remake!


Drag Me to Hell ( 2009 )  

Usai kesibukan ngegarap franchise manusia laba-laba berbujet raksasa, Sam Raimi rupanya ngerasa udah waktunya untuk kembali bersenang-senang dengan 'hobi-lama' yang udah ngebesarin namanya : membuat film horror!

Naskah Drag Me To Hell, yang ditulis bersama Ivan Raimi ( kakaknya ) bercerita tentang Christine ( Alison Lohman ), karyawan sebuah bank yang pada suatu hari didatangi klien ( seorang nenek gipsi ) bernama Ny.Ganush ( Lorna Raver ) yang memohon padanya untuk memperpanjang pinjamannya. Christine yang ( sebenernya bersimpati ) namun ingin membuat bosnya terkesan, mengambil inisiatif dengan menolak tegas permohonan itu. Lebih jauh, dia bahkan memanggil sekuriti untuk mengusir paksa si nenek. Kecewa, marah dan malu, Ny.Ganush tanpa diduga melayangkan sebuah kutukan untuk Christine yang hanya memiliki waktu 3 hari sebelum sebentuk kekuatan gelap akan menyeretnya ke neraka!  

Drag Me To Hell tidak memiliki kuantitas darah ama cairan-menjijikan semasif kaya di The Evil Dead, tapi itu bukan berarti ini menjadi jelek, karena tone creepy-komikal ( juga hilarious-gore ) khas Sam Raimi ternyata masih bisa kita rasakan dengan kuat. Ya, ada banyak adegan serem-tapi-konyol disini, tapi yang paling seru adalah sekuens di tempat parkir itu ( kredit khusus untuk penampilan Lorna Raver ), dan jangan lupa adegan kepala si nenek ketimpa besi sampe mencret haha. Fix, beliau belum kehilangan sentuhannya di genre ini.

Raimi juga masih inget gimana caranya membuat sekuen badass ketika heroine kita ngangkat tangannya tinggi tinggi ( megang kancing kutukan ) dari dalam lubang kubur sambil ngucapin oneliner diiiringi gelegar halilintar ( juga adegan ikonik tangan yang menyeruak keluar dari lubang kubur yang terendam air hujan ). Nah, bukankah itu ngingetin kalian pada tone The Evil Dead? Haha Yap, ngeliat Raimi membuat Drag Me To Hell tuh rasanya kaya ngeliat bapak-bapak yang sepanjang bulan sibuk bekerja, akhirnya menemukan tanggal merah di kalendernya, lalu dia manfaatin itu buat seneng-seneng ngelakuin apa yang dia suka saat masih muda. Sangat fun! Nah sekarang buat Peter Jackson, kapan akhirnya lu nemu 'tanggal merah' juga sih?

Bedevilled ( 2010 ) 

Di awal cerita, kita dikenalin ama karakter Hae-Won ( Seong-won Ji ), seorang wanita karir dengan kesibukan dan tekanan di tempat kerja yang membuat dirinya menjadi pribadi yang dingin, selfish, ignorant, dan individualis. Yah, penyakit manusia modern di kota besar. Suatu hari, insiden di tempat kerja membuat Hae-Won terpaksa mengambil cuti dan pergi menenangkan diri kesebuah pulau terpencil, sekaligus menemui sahabat masa kecilnya Bok-Nam ( Yeong-hie Seo ). Di pulau yang  hanya dihuni beberapa emak-emak, lelaki dan seorang kakek linglung inilah Hae-Won menyaksikan kehidupan sahabatnya Bok-Nam yang memilukan. Siapa sangka dipulau indah nan tenang itu Hae-Won malah akan mengalami  sebuah peristiwa mengguncang yang ( tak kalah buruknya dengan di kota ) dan membuatnya berfikir ulang tentang semua sifat dan perilakunya selama ini. 

Di paruh pertama, Bedevilled berjalan seperti sebuah drama gelap yang sakit sebelum akhirnya tiba-tiba saja meledak menjadi gelaran kekerasan penuh darah dan kematian di paruh keduanya. Tidak seperti film korean-vengeance lain yang sering menyajikan kisah bales dendam nan sistematis, apa yang terjadi disini lebih seperti 'bendungan-emosi' yang akhirnya jebol, air bahnya meluap kemana-mana tak terkontrol. Gue speechless, dan menyarankan kalian buat nontonnya sendiri. Brutal sekaligus emosional! 

Overall, selain banyak nyajiin kekerasan dan darah, Bedeville juga memiliki komentar kuat soal materialisme kota yang mematikan hati, rendahnya pendidikan di desa yang melanggengkan ide-ide kuno ( misoginis ) serta manusia yang seringkali harus melewati tragedi untuk bisa berubah. Terakhir, tentu kredit khusus untuk penampilan superb Yeong-hie Seo. 


Dream Home ( 2010 )
 
Ada beberapa film horor bagus di tahun ini, tapi gue milih Dream Home sebagai apresiasi untuk Hongkong yang akhirnya kembali menelurkan horor esensial di dekade 2000an setelah Dumplings dan The Eye. 


Dream Home bercerita tentang Cheng Li-sheung ( Josie Ho ) seorang wanita karir yang sejak kecil terobsesi memiliki sebuah apartemen impian ( dengan pemandangan laut ). Dia rela bekerja banting tulang ( bahkan menjadi wanita simpanan ) demi mengumpulkan uang agar bisa mewujudkan obsesinya. Ketika uang akhirnya terkumpul dan Cheng siap membeli apartemen itu, tiba-tiba bursa saham bergejolak dan developer properti menaikkan harganya hingga tak terjangkau lagi. Putus asa, kecewa dan marah, Cheng melakukan sesuatu yang gila : ngebantai banyak penghuni apartemen di kawasan itu agar harganya menjadi turun!. 


Merupakan film bergenre slasher, Dream Home memilih alur non-linier maju mundur ( di bagian pertama dan kedua ) yang sebenernya kurang cocok untuk subgenre ini, untungnya bagian kekerasannya di tampilkan dengan outrageous. Menarik mengetahui kalo semua kekerasan-eksesif  disini adalah keinginan Josie Ho sendiri ( pemeran utama merangkap produser ) yang konon terinspirasi The Story of Riki ( 1991 ), ( meskipun hasil akhirnya lebih mirip film-film Cat III nya Anthony Wong ) Haha I Love Josie Ho! Yang asik lainnya adalah, Dream Home memiliki banyak dark-humour dibagian gorenya, sehingga beberapa adegan malah bikin ngakak. Dan tentu saja, jangan lupain muatan kuat satir sosial-ekonomi yang membuat film besutan Ho-Cheung Pang ini menjadi lebih berisi. 



Let Me In ( 2010 ) 

Harus diakui, bahwa meskipun ini adalah sebuah remake ( dari film Swedia Let The Right One in ( 2008 ) ) dan memiliki banyak kesamaan adegan, Matt Reeves( sutradara ) mampu ngasih sentuhan untuk membuat Let Me In berdiri dengan versinya sendiri. Gue pikir ini adalah hasil dari keputusannya untuk memilih langsung menginterpretasi kisah relationship vampir cilik ini dari material utamanya,  yaitu buku karangan John Ajvide Lindqvist. Bahkan konon, dua aktor cilik dalam versi ini ( Kodi Smit-McPhee dan Chloe Grace Moretz ) tidak diperbolehkan untuk menonton versi Swedianya agar tidak terpengaruh dan mampu berperan dengan natural. 

Secara umum, meski dua duanya sama-sama bagus ( dengan caranya masing masing ), Let Me In emang terasa lebih mudah dinikmati terutama -sekali lagi-, kalo dibandingin gaya artful-stylish Tomas Alfredson yang pelan, dingin, moody namun atmosperik di Let The Right One in. Sokongan budget juga membuat semua bagian gore dalam versi ini terlihat lebih brutal ( meski tetap elegan ). Cek adegan kecelakaan mobil itu, atau adegan ketika Abby menyerang mangsanya, atau wanita yang terbakar, atau tentu saja adegan di kolam renang yang  beautifully-gruesome itu. Sayangnya, ada satu adegan bagus dari versi Swedia yang nggak dimasukin disini, yaitu adegan perempuan yang dikerubuti kucing haha itu adegan keren, dan kalo aje, Matt Reeves juga masukin sekuens itu ( dengan lebih brutal ), pasti gue akan lebih bersorak-sorai.  

Overall, meski memiliki cerita yang terasa ambigu ( maksud gue gimana mungkin kita diajak bersimpati pada vampir yang sering memangsa orang tak bersalah? , lalu bagaimana dengan nasib Owen, apa dia hanya akan berakhir seperti The Father yang nantinya harus membunuh orang demi menyediakan darah? )Let Me In tetap merupakan sajian drama-horror solid yang gue pikir punya kans besar menjadi timeless ( tak lekang waktu ) seperti halnya The Exorcist, Rosemary's Baby atau The Omen. Hmm..istilahnya apa ya, instant classic?


I Saw the Devil / Akmareul Boatda (  2010 ) 


Menakjubkan ngeliat gimana tema vengeance ( bales dendam ) yang udah berulangkali dipake dalam film2 horror/crime-thriller Korea Selatan mampu terus di recycle menjadi sajian yang tidak membosankan dan bahkan tetap terasa fresh tiap kali film-film bertema serupa rilis. Seperti yang satu ini. 

I Saw the Devil bercerita tentang Soo-Hyun ( Lee Byung-Hun ) seorang agen khusus kepolisian yang dirasuki dendam kesumat pada Kyung-Chul ( Choi  Min Sik )psikopat yang telah membunuh dan memutilasi tunangannya. Dendam yang menggelora dalam diri Soo-Hyun kemudian membuat dirinya berubah menjadi sosok yang dingin, dia menikmati memburu dan menghajar Kyung-chul ( hanya untuk melepasnya lagi ) dan hanya akan berhenti jika sang psikopat telah mengalami penderitaan yang lebih buruk dari yang dalaminya. Apakah dia telah berubah menjadi seperti iblis yang dibencinya? 

Nah, sekilas ide pertanyaan ambigu soal bales dendamnya terasa basi, namun Kim Jee Woon mampu mengolah ide itu menjadi tidak terasa preachy dengan membiarkan audiens untuk mengambil kesimpulan sendiri. Jee-Woon juga berhasil ngeblender thriller, suspense, drama dan eksyen dengan sangat pas yang membuat film nyaris nggak memiliki momen membosankan meski durasinya cukup panjang ( 2 jam lebih ). Sementara itu, sajian kekerasan tingkat tinggi yang ditampilin dilayar tidak dibuat hanya sekedar untuk ngasih shock-value namun juga menyasar emotional-impact audiens yang didukung penampilan superb dari duo main-castnya ( Lee Byung-Hun dan Choi Min-Sik ). Walhasil, beberapa adegan berhasil menjadi memorable sampe sekarang. Inilah film yang membuat gue mendadak mencari dan menonton banyak sekali film2 crime-thriller dari negeri ginseng ini hehe. 

Verdictnya, I Saw the Devil adalah sebuah thriller-vengeance yang intense, thrilling, violent, gory, sekaligus emosional yang didukung tata produksi berkelas disemua lininya ( script, direction, cinematography, scoring, cast ), atau kalian bisa nyebutnya dengan kalimat pendek : sempurna. 

..........................................

Nah demikianlah, semoga ini bisa menjadi bahan bacaan ringan yang menghibur kalian saat sembelit di WC, atau menjadi pengisi waktu menunggu bedug maghrib ( bagi yang berpuasa ), sehingga membuat blog ini jadi lebih berfaedah. 


Buat yang udah nonton semua filmnya, anggep aja ini sebagai arsip blog, sementara buat yang belum nonton...really?! tinggal dimana lu selama ini??!!  

Oiya, gue akan membuat list best 2010-2020 nanti di penghujung dekade ini ( tahun 2020 ), dengan asumsi dunia belum kiamat karena perang nuklir wk. 


Terakhir, selamat berpuasa!



Bite (2015 ) : Gigitan Kecil yang Tak Terasa Menggigit

$
0
0

Tertarik ama film body-horror  garapan Chad Archibald ini setelah saat itu nggak sengaja ngebaca beritanya ( entah itu beneran atau hanya trik marketing belaka ) yang nyebutin bahwa ada dua penonton yang pingsan dan seorang lagi muntah-muntah setelah nonton ini pada saat premierenya di Fantasia Film Festival. Well, sebegitu menjijikannya-kah filmnya? 

Plot film berpusat pada karakter Casey ( Elma Begovic ), yang baru saja pulang dari liburan-jelang-pernikahan ( Bachelorette Party ) bersama kawan-kawannya di Costa Rica. Liburan itu seharusnya membuat Casey lebih senang dan segar, tapi pada kenyataannya ada dua masalah yang sedang merisaukan hatinya. Pertama, meski calon suaminya, Jared ( Jordan Gray ) boleh dibilang adalah sosok yang ideal ( dia tampan, baik hati dan mapan ), entah kenapa Casey justru merasa belum siap dengan pernikahan yang akan dihelat seminggu lagi itu. Dia terlihat gugup berada diambang dunia rumah-tangga dengan semua tetek-bengek kerumitannya kelak ( termasuk menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak ). Kegelisahan itu menguat setelah dia ngerasa calon mertuanya tidak menyukainya. Dipuncak kebimbangan, Casey sempat ingin mengutarakan keinginan menunda pernikahan, namun tak sanggup menyampaikannya. Hal ini membuat ia semakin tertekan. Pendeknya, Casey sedang mengalami krisis-jelang-married kaya banyak temen gue yang justru terlihat murung dan panik menjelang pernikahannya haha. 

Masalah yang kedua ( nah ini yang lebih serius ), Casey digigit sejenis serangga bawah air ketika berenang disungai saat liburan. Ia awalnya mengabaikan gigitan itu, " it's just a little bite " kilahnya. Tapi, tentu saja kita ( sebagai horor-fan ) lebih tahu apa yang akan kemudian terjadi. Ya, efek gigitan yang awalnya hanya berupa gatal-gatal itu memburuk menjadi koreng. Membengkak, meradang dan bernanah, lalu menyebar ke sekujur tubuhnya. Inilah momen ketika film mulai nyampe di bagian yang gue tunggu, yaitu ketika Casey perlahan-lahan berubah menjadi seperti serangga, bertelur dan bahkan membuat sarang di kamar apartemennya. Calon pengantin yang tak siap menjadi ibu ini akhirnya malah menjadi induk serangga dan secara alamiah mulai memiliki insting untuk melindungi telur-telurnya. Alam rupanya memaksa Casey menjadi 'ibu' dengan caranya sendiri.  


Nah, diatas kertas ide Archibald( yang juga nulis skrip ) ini cukup menarik. Dengan menambahkan cerita tentang calon-pengantin-nervous diatas template body-horror, dia rupanya ingin filmnya juga bercerita tentang kekuatan nature-instinct yang tak bisa dilawan. Atau lebih jauh, mungkinkah ini semacam alegori dari kegamangan seorang wanita yang tak siap menjadi ibu dimana itu akhirnya menguasai dirinya dan memperburuk keadaan? Jika memang demikian, poin yang gue tangkep kemudian adalah, "Casey akhirnya memiliki insting keibuan setelah berubah menjadi induk serangga". Hahaa itu sih kedengeran kaya sebuah parodi nan ironis. Tapi, gue pikir filmnya memang akan lebih menarik jika saja Archibald memasukkan elemen dark-humor didalamnya. Sayangnya, tone film begitu serius dan sutradara berusaha terlalu keras untuk membuat Bite menjadi sebuah 'deep' body-horror yang memaksa gue membandingkannya dengan The Fly ( 1986 ). Archibald sendiri berkilah kalo Bite adalah sajian yang berbeda karena memiliki tema organic, biological dan natural, sementara The Fly sangat scientific. Okelah, apapun yang ada dalam benak sutradara, sayangnya lagi, dieksekusi dengan presentasi yang  terasa kurang menggigit. 

Di awal film, Bite memakai gaya handheld-camera/found-footage ( untuk nyeritain liburan Casey di Costa Rica ), dan syukurlah, itu hanya berlangsung diawal saja sebelum akhirnya film berjalan secara konvensional ( mulai menit ke-8 ) saat Casey kembali ke rumah. Dari sini film mulai nge-set plot dan ngenalin karakter-karakter pendukungnya. Penampilan Elma Begovic( Casey ) sendiri 'cukup' untuk kebutuhan film, namun cast yang lain tampil seadanya dengan karakter two-dimensional yang jelas merupakan hasil penulisan naskah yang kurang matang. Imbasnya adalah, meski gue cukup bersimpati dengan apa yang dialami Casey, secara keseluruhan rough-characters dan akting medioker membuat paruh pertama Bite terasa hambar. Dan gue tak sabar untuk segera ngeliat gimana digustingnya film yang konon membuat beberapa penontonnya pingsan dan muntah ini. 

Lalu, akhirnya kita pun tiba di bagian body-horrornya. Perlu diingat, bahwa ini adalah sebuah film kecil micro-budget. So, gue nggak terlalu berharap bakal mendapatkan spesial efek spektakuler kaya yang udah kita liat di film-filmnya David Cronenberg. Transformasi yang dialami casey pun tidak sampai membuat tubuhnya terdeformasi total menjadi bentuk lain yang membutuhkan skill prostetik sekelas Chris Walas atau Rob Bottin, dia cuma di make-up mengerikan ( sekujur tubuhnya seperti dilumuri lendir lengket-menjijikkan ) dengan sentuhan sedikit CGI ( untuk bagian ekornya ). Nah, tapi kalo nginget budget mini nya, kredit memang layak diberikan buat divisi spesial efek yang udah nunjukin effort dalam membuat Bite menjadi se-disgusting mungkin. Selain make-up tadi, hal menjijikkan datang dari telur-telur Casey  ( konon dibuat dari spit balls ) yang disebar di setiap sudut kamar Casey. Telur-telur yang jumlahnya ribuan ini terlihat lengket-berlendir dan berwarna kuning-kemerahan ( mirip telur katak ), hell yeah, ngeliat itu dalam jumlah banyak jelas akan membuat penderita trypophobia kejang-kejang. Salah satu adegan juga cukup 'eeeyuuh' dan membuat selera makan gue ilang, yaitu ketika ratusan telur tiba-tiba mbrojol dari selangkangan Casey haha. Sementara itu, desain kamar Casey yang berubah menjadi sarang pun layak diapresiasi, terutama kalo nginget ( sekali lagi ) budget-micro nya. 


Namun lagi-lagi sangat disayangkan, dibagian ini Archibald seperti terlalu bersemangat ngasih audiensnya lendir-lengket-menjijikkan, sampe lupa gimana membuat filmnya juga menjadi thrilling. Jadi, abis Casey bertransformasi menjadi insectizoid, alur film berjalan dengan cara seperti ini : sang calon mertua masuk ke kamar Casey yang udah berubah menjadi sarang, dia terkejut, lalu hal buruk terjadi padanya, tak berapa lama seorang teman masuk ke kamar Casey  yang udah berubah menjadi sarang, dia terkejut, lalu hal buruk terjadi padanya, begitu seterusnya sampe menjelang akhir hehe. Gue pikir itu terlalu repetitif dan predictable. Meskipun, yah..adegan casey menyemburkan cairan asam dan membuat wajah calon mertuanya meleleh itu cukup menyenangkan haha. Oiya, bagian sepertiga akhir film ini ngingetin gue pada menit-menit akhir Starry Eyes ( 2014 ) dimana dengan tubuh yang sedang bertransformasi, Casey memakai hoodie dan mulai menebarkan horor. 

Overall, tampil tanpa darah, Archibald memilih untuk ngasih banyak cairan lengket menjijikkan kemudian memadukannya dengan drama-depresif.  Dengan konsep seperti itu, dia berharap Bite akan menjadi sebuah deep disgusting body-horror yang menggigit. Gue cukup mengapresiasi spesial-efeknya meski itu tak pernah nyampe level Brundlefly. Sayang, kelemahan di naskahnya ( rough characters, flat dialogue, predictable plot ) ditambah akting medioker dari para cast pendukungnya, membuat Bite hanya menjadi sebuah gigitan kecil yang tak terasa menggigit. 

Jadi, mengenai pertanyaan diawal review tentang 'apakah film ini begitu menjijikkan sampe membuat beberapa penontonnya pingsan dan muntah?' Bisa gue pastiin kalo itu terlalu berlebihan. Kemungkinannya ada dua, itu trik marketing untuk membuat calon penontonnya penasaran ( dan berhasil di gue ), atau mereka penderita trypophobia ( googling untuk tau apaan ini ) yang baru pertama kali nonton sebuah body-horor hehe.  Buat pembaca blog ini sih, kayanya Bite ngga terlalu rugi untuk dilewatkan kecuali kalo kalian pengen sedikit menghilangkan nafsu makan di bulan Ramadhan ini haha. 

Ciao!
 

SCORE

Top 15 Brutal Deaths in Game of Thrones series ( season 1 - season 7 )

$
0
0
GoT poster by ricardomacia on deviantart
WARNING! THIS POST IS DARK AND FULL OF SPOILERS

Well, usai sudah musim ke 7 kisah epik perebutan tahta di benua Westeros yang udah sukses mengacaukan waktu produktif dan jam tidur gue karena marathon ngejar 60an lebih episodenya haha. Terus terang, gue emang baru ngikutin seri ini ketika penayangan di HBO udah nyampe episode pertengahan musim ke 7 kemaren. Pencetusnya apa lagi kalo bukan orang-orang disekitar gue serta berita-berita di linimasa sosmed yang terus-terusan ngomongin seri ini. Tapi, sebenernya itu aja ngga cukup kuat jadi alesan buat ngecek Game of Thrones yang pernah gue kira adalah judul sebuah game strategi wkwk sampe kemudian salah satu temen ngucapin kalimat yang sangat susah untuk ditolak ini : 

" seri ini punya banyak boobs, nudity dan graphic violence " 

Wainiii haha okelah, jadi gue pun langsung nyoba season pertamanya. Dilihat dari sudut pandang horor fan, episode awal nya sendiri secara mengejutkan udah nunjukin elemen horor kuat dengan menampilkan korban pembantaian wildlings( suku liar ) yang dilakukan oleh makhluk supranatural kuno ( White Walker ) dimana salah satu kekuatannya adalah membangkitkan mayat  dan mengubahnya menjadi Wight( Zombie ). Kita juga punya eksekusi pemenggalan, pertandingan Joust nan brutal, lalu ada suku barbar Dothraki yang suka ngeseks dialam bebas, dukun ilmu hitam, naga, serta yeah, tentu saja hubungan sex incest yang menjadi pemicu semua silang sengketa dan pertumpahan darah di benua Westeros. Yap, season pertamanya ( meski baru level build-up plot dan pengenalan karakter ) udah cukup untuk membuat gue tertarik. Sebuah mix antara sihir, naga dan intrik politik Machiavellian penuh darah yang menegaskan GoT sebagai drama medieval-fantasi mature yang ada di ranah berbeda terutama jika dibandingkan Lord of The Rings yang PG-13 itu. Abis itu, gue nonstop  nonton 5 episode tiap hari hehe persetan kerja! 

Secara singkat, seri ini mempunyaI tiga plot utama, yaitu : kisruh perebutan tahta yang melibatkan 7 klan bangsawan penguasa wilayah Westeros. Lalu ada perjuangan Daenerys Targaryen ( dengan tiga naga nya ) untuk merebut kembali tahta Iron Throne ( serta melakukan revolusi sistem ) dan yang terakhir adalah plot tentang ancaman berskala apokalips dari utara dalam bentuk invasi White Walkers beserta pasukan zombienya ( Wights ). Hmm, kalo di perhatiin, akankah ini akan berakhir seperti ide utama dalam Watchmen ( 2009 ) ketika satu karakter dalam film itu dengan sengaja menciptakan musuh bersama dari luar untuk membuat bangsa-bangsa dibumi akhirnya bersatu? well, semoga tidak seklise itu. 

Satu lagi, kekuatan seri ini adalah pada eksplorasi karakter-karakter utamanya yang terus berkembang seturut jalan cerita yang pada akhirnya mampu ngasih perspektif lain pada penonton. Contohnya adalah Jaime Lannister yang di episode2 awal menjadi karakter yang paling dibenci, perlahan namun pasti mulai layak mendapat simpati ketika karakternya terus dieksplorasi. Hal yang sama juga terjadi pada Sandor 'The Hound' Clegane, Sansa, atau Arya Stark. Evolusi karakter-karakter ini demikian halus sampe dimusim terakhir kemaren, tanpa sadar karakter mereka sudah banyak berubah. Ada juga Varys, anggota penasehat di dewan kerajaan King's Landing ( digambarkan sebagai karakter yang licik, oportunis, banyak melakukan konspirasi demi keselamatannya sendiri ), ketika dikonfrontasi Daenerys diluar dugaan mampu menyampaikan argumen masuk akal yang membuat persepsi buruk gue padanya menjadi goyah ( atau apakah die emang pandai bersilat lidah seperti Littlefinger? entahlah ). Daenerys Targaryen sendiri, sang pembebas ( dengan tiga naga api ) yang digadang-gadang bakal menjadi hero, menarik untuk didiskusikan aksinya ketika dia beberapa kali mengambil keputusan impulsif ( menyalib para master, menghapus tradisi lama, berniat menghancurkan sistem tanpa menyiapkan sistem pengganti ) yang membuat upaya penaklukan dan revolusinya kerap tidak berjalan mulus, contohnya adalah pemberontakan Sons of The Harpy di Meereen( Nah, bukankah ini mengingatkan kita pada negara superpower yang memaksakan ideologinya dinegara lain yang memiliki kultur berbeda? hehe correct me ). Sementara untuk Theon Greyjoy, seorang pengkhianat yang kemudian mengalami nasib sangat mengerikan ditangan Ramsay Bolton, asli gue masih bingung apakah harus membenci atau bersimpati pada karakter ini haha. 

Ya, sama seperti Don't Breathe nya Fede Alvarez, ( dengan mengesampingkan season 7 nya yang lebih berfokus pada plot heroic-fantasy saga )Game of Thrones banyak bermain di area abu-abu ( ambigu ) yang membuat aroma ketidakpastian terasa kuat, sementara itu bates antara bener dan salah pun menjadi kabur. Seri juga kerap berpindah point-of-view. Tujuannya jelas, mengajak penonton untuk melihat dari perspektif lain kemudian membiarkan mereka mengambil kesimpulan sendiri. 

Sebenernya masih banyak yang pengen gue ceritain dari seri yang merupakan adaptasi novel karya George R.R Martin ini ( A song of Ice and Fire -- gue belum sempet baca, tapi bisa gue bayangin itu adalah novel yang fantastis ). Tentang karakter-karakter super menjengkelkannya ( Joffrey, Walder Frey, Cersei, Ramsay Bolton, Littlefinger, Euron Greyjoy ),  tentang karakter-karakter badassnya ( Sandor Clegane FTW! ), tentang plotnya yang tanpa ampun berani mematikan beberapa karakter fan-favorite, tentang bagaimana Cersei memanfaatkan fundamentalisme agama dari kaum puritan demi kepentingan politik ( ini sangat relevan dengan situasi politik di negara kita  ), tentang setting kota-kota di Westeros dan Essos dengan legendanya masing-masing yang imajinatif, tentang adegan pertempuran dan spesial efeknya nan epik dll. Tapi hey, ini masih blog horror kan ya? haha, so sebelum gue melebar kemana-mana dan tanpa sadar mengubah nama blog ini menjadi valarmorghulis, lebih baik kita langsung fokus aje ke satu elemen dalam seri ini yang masih ada relevansinya dengan horor..yeaaah, apalagi kalo bukan graphic violence hehe. 

So, bener apa yang temen gue bilang kalo GoT punya kandungan graphic violence ( juga sex scene ) yang cukup melimpah, buat gue sih itu jelas bumbu penyedap yang membuat seri ini jadi asik ditonton ( tanpa elemen ini kayanya GoT bakal ngebosenin kaya seri pendekar dinasti Tiongkok atau Angling Dharma wkww ). Tapi, perlu digaris bawahi bahwa adegan-adegan gruesome disini masih jadi bagian dari jalan cerita, dia nggak nyampe ke level gorefest ( atau eksploitasi ) dan sengaja ditunjukin dengan eksplisit hanya untuk ngasih emotional-impact maksimum. So, buat para gorehound, don't expect too much yee. Ini jelas masih di level medium, tapi buat ukuran seri TV bergenre drama-fantasi sih..hmm cukup mengejutkan lah, buktinya gue langsung trigerred untuk menulist ini hehe. 

Nah, adegan-adegan mana aja yang menurut HSD layak masuk list ini? 

Oke folks, Langsung aja ye.. 

Top 15 Brutal Deaths in Game of Thrones series 

15. Ser Hugh Death ( Season 1 Episode 4 )
Cause of death : Ketusuk pecahan tombak di turnamen Joust


 

Yang ini terjadi dalam adegan turnamen Joust untuk merayakan kedatangan Ned Stark di King's Landing. Ser Hugh melawan si raksasa Gregor 'The Mountain' Clegane. Pertandingan adu tombak berkuda yang populer di era medieval ini berakhir dengan kematian menyakitkan Ser Hugh karena tenggorokannya ketusuk pecahan tombak. Yass, ngeliat ini gue kaya ngeliat salah satu adegan kematian di Final Destination hehe. 

Brutal meter : 3/5


14. Unknown Character Death ( Season 2  Episode 4 )
Cause of Death : Digerogoti tikus idup-idup 



Dalam episode ini diceritain pasukan Lannister menginterogasi para petani di Harrenhal dengan metode penyiksaan yang sungguh tak terbayangkan, yaitu dengan mengikatkan ember berisi tikus besar ke dada tawanannya. Ketika interogator tidak mendapatkan jawaban memuaskan, dia akan memanggang bagian belakang ember itu dengan api yang memaksa tikus besar didalamnya mencari jalan keluar ( untuk menghindari panas ) dengan cara menggerogoti tubuh sang tawanan malang. Holy shit, gimana tuh rasanya mati digerogotin tikus? Yang lebih menyeramkan adalah metode penyiksaan ini konon emang beneran pernah diterapkan di abad pertengahan dulu. Syit.

metode penyiksaan di abad pertengahan

Brutal meter : 3/5

13. Ramsay Bolton Death ( Season 5, Episode 9 )
Cause of Death :
Dimakan oleh anjing-anjingnya sendiri



Selain punya banyak banyak karakter ambigu yang terus berkembang, show juga tak lupa memasukkan karakter-karakter solid-evil. Seperti misalnya pada season-season awal kita punya King Joffrey the little shit yang rasanya pengen gue injek-injek mukanya haha, ketika karakter ini akhirnya tewas ( dia layak mendapat cara kematian yang lebih buruk sebenernya ), seri menggantinya dengan karakter lain yang bahkan lebih kejam ( dan membuat Joffrey mendadak terasa seperti anak soleh ), yaitu si psikopat Ramsay Bolton, beberapa contoh kekejamannya adalah dia hobi menguliti hidup-hidup pasukan musuhnya, mengumpankan korbannya untuk santapan anjing-anjing hanya demi kesenangan, memperkosa dengan brutal salah satu karakter protagonis ( Sansa ), serta menyiksa habis-habisan ( baik fisik dan mental ) tawanannya ( Theon Greyjoy ) untuk mengubahnya menjadi seperti hewan peliharaan. Tak ada yang lebih dinanti selain kematian tragis karakter ini, dan akhirnya itu terpenuhi di musim ke 5 ketika Sansa mengumpankan Ramsay ke anjing-anjing peliharaannya sendiri. Sebuah cara mati yang sungguh brutal. Satu alesan yang membuat adegan ini tidak berada di posisi yang lebih tinggi dalam list ini adalah karena sekuensnya tidak tampil full  onscreen ( studio memutuskan untuk men-toned down adegannya karena konon terlalu sadis ). Syit. meski demikian, rasanya salah kalo ngga masukin adegan ini ke dalam list. Die you, asshole!

Brutal meter : 3/5


12. Shireen Baratheon Death ( Season 5 epiode 9 )
Cause of Death : Burned alive


Apa yang membuat adegan ini begitu menyakitkan untuk diliat adalah kenyataan bahwa korbannya adalah seorang gadis kecil nan polos. Lebih disturbing lagi, ayahnya sendiri ( Stannis Baratheon ) yang membakar Shireen hidup-hidup atas petunjuk penyihir wanita Melisandre. Untunglah, adegan shocking ini tidak ditampilkan full onscreen, meski begitu jeritan-jeritan menyayat Shireen ketika api mulai melahap tubuhnya tetap mampu ngasih kita horor mencekam. Shockinglysick. Abis ngeliat ini gue sempat berharap White Walker segera menginvasi Westeros dan membunuh semua orang didalamnya. Kzl. 

Brutal meter : 3/5


11. Styr Death ( Season 4 episode 9 )
Cause of Death :
Dihantam dengan palu oleh Jon Snow dalam pertempuran di Castle Black



Styr adalah kepala suku Thenn yang bengis dan berhasrat menghabisi semua anggota Night Watch pimpinan Jon Snow. Pada momen penyerangan Castle Black bersama suku Wildlings lainnya, pria besar yang juga kanibal ini akhirnya berhadapan dengan Jon. Duel berlangsung seru dan Styr terlihat seperti akan memenangkan pertarungan. Ketika nyawa Jon sudah diujung tanduk, satu detik kelengahan dimanfaatkan Jon untuk meraih palu dan croottt!  detik berikutnya palu itu udah nancep dikepala botak Styr. Bye-bye Styr!

10. Trystane Death ( Season 6 Episode 1 )
Cause of Death : Ditombak oleh Snake Sands


 

Ellaria Sand kecewa dan marah mendengar keputusan Doran Martell ( Raja Dorne ) yang enggan melakukan pembalasan pada klan Lannister atas kematian Prince Oberyn( kekasihnya ). Dia lalu memutuskan untuk merebut kekuasaan di Dorne dengan membunuh Doran Martell dan puteranya Trystane. Doran tewas ditikam Ellaria sementara Trystane meregang ajal di tangan tiga assasins perempuan ( Sand Snakes ) yang dengan brutal menombaknya dari belakang. RIP Trystane. 

 9. Brotherhood member Deaths ( Season 6 Episode 8 )
Cause of Death :
The Hound's Axe Rampage!

 

Sandor 'The Hound' Clegane adalah salah satu karakter favorit gue. Dia tangguh, dingin, badass, serta memiliki pengalaman dan masa lalu gelap yang membentuk kepribadian sinikalnya. Ya, The Hound adalah seorang complete-nihilis. Pada satu titik paling kritis dalam hidupnya ( sedang sekarat ), Septon Ray datang menolongnya kemudian ngasih doi sedikit pencerahan dan petuah tentang tujuan hidup. Sayang ketenangan spiritual The Hound tak berlangsung lama. Orang-orang jahat ( Brotherhood Without Banners ) datang, merampok dan membunuh semua pengikut Septon Ray. Tak ayal, The Hound pun murka, berbekal kapak dia langsung memburu para pelakunya lalu tanpa ampun membantai empat anggota Brotherhood yang dia temukan. Kill 'em all, Hound!

8. Ser Rodrick Cassel Death ( Season 2  Episode 6 )
Cause of Death :
Dieksekusi penggal oleh Theon Greyjoy



Semua adegan eksekusi pemenggalan dalam GoT umumnya berlangsung 'quick and clean'. Kecuali yang satu ini. Ya, Ser Rodrick harus mengalami penderitaan hebat selama eksekusi karena meski Theon sudah tiga kali menebas kuat-kuat, kepalanya tak kunjung putus. Sampai akhirnya Theon dengan kesal menggunakan kakinya untuk memisahkan kepala Ser Rodrick dari lehernya. What a horrible way to die! kapan aje kalian mulai bersimpati pada Theon Greyjoy, inget adegan ini!

7. Viserys Targaryen Death ( Season 1 Episode 6 )
Cause of Death :
Khal Drogo menumpahkan lelehan emas panas ke kepalanya



 

Viserys Targaryen adalah kakak Daenerys. Dia sangat berambisi untuk merebut kembali tahta King's Landing dari tangan Robert Baratheon. Demi tujuan itu, Viserys rela melakukan apa saja termasuk menikahkan Daenerys pada Khal Drogo, pemimpin suku barbar Dothraki yang memiliki banyak pasukan tangguh. Sayangnya, Viserys dengan sangat annoying terus-terusan menuntut Khal Drogo untuk segera menyerang King's Landing dan memberinya mahkota raja sebagai imbalan atas pernikahannya dengan Daenerys. Pada satu momen, ketika Viserys kembali menuntut, Khal Drogo rupanya habis kesabaran, dia segera melelehkan emas-emas disebuah panci kemudian dengan brutal langsung menumpahkan lelehannya ke kepala Viserys sambil berkata "  a crown for the king ".  Haha savage!

Brutal meter : 4/5

6. Mago Death ( Season 1  Episode 8 )
Cause of Death :
Khal Drogo menebas leher Mago dan mencabut lidahnya


 

Masih dari tanah para Dothraki. Kali ini yang bernasib sial adalah Mago, salah satu pengikut Khal Drogo. Jadi ceritanya, Daenerys ingin menyelamatkan beberapa warga yang desanya sedang dijarah suku Dothraki.  Dengan argumen yang masuk akal, Daenerys akhirnya bisa meyakinkan Drogo. Namun tidak dengan Mago, dia menentang keras dan menganggap Drogo sudah menjadi lemah karena mau menuruti keinginan perempuan. Tensi yang meningkat cepat ini akhirnya berujung pada duel Mago vs Khal Drogo. Jelas Mago bukan tandingan Drogo yang dengan singkat mengakhiri perlawanannya. Dia menemui ajal setelah Drogo menebas leher dan mencabut lidahnya. "What's happen Mago? has the Drogo got your tongue? "

Brutal meter : 4/5

 5. Unnamed Lannister's kingsmen ( Season 4 season 1 )
Cause of Death :
Berkali-kali ketancep golok dimata



 

Petualangan dan relasi captor-prisoner antara Arya dan The Hound adalah salah satu subplot favorit gue. Dalam salah satu perjalanannya, diceritain duo ini masuk ke sebuah kedai dan berjumpa dengan beberapa prajurit Lannister. Dialog antara The Hound dan prajurit Lannister ( Polliver ) disini kemudian menghasilkan salah satu line paling hilarious dari The Hound, ngasih kita sebuah dark humor di sela-sela tone Westeros yang suram dan depresif. Abis itu tensi berekskalasi dengan cepat, perkelahian pecah. Kaya bisa diduga, The Hound ( dan Arya ) membunuh mereka semua, salah satunya bahkan tewas dengan brutal setelah The Hound nancepin muka orang itu berkali-kali ke golok yang dipegangnya. Tsadeeest!  

Brutal meter : 4/5

4. Karl Tanner Death ( Season 4  Episode 5 )
Cause of Death :
Impaled through the back of the head, tembus ke mulut!



 

Adegan ini berlangsung saat Jon Snow menyerbu lokasi keberadaan Karl Tanner pembelot Night Watch yang memilih untuk membentuk kelompok kriminal ) di Craster's Keep. Duel antara Jon Vs Karl Tanner berlangsung sengit, Karl adalah petarung yang tangguh terutama ketika dia menggunakan senjata andalannya, double-dagger. Jon pun kewalahan, dan dia mungkin sudah tewas andai saja seorang wanita Wildlings tidak membuat perhatian Karl teralihkan. Kelengahan Karl ini berakhir fatal karena Jon segera manfaatin itu dengan menusuk kepalanya dari belakang, tembus ke mulut kemudian mencabut pedangnya pelan-pelan. ngilu, njir

Brutal meter : 4/5
 

3. Talisa, Robb and Catelyn Stark death  ( Season 3 episode 9 )
Cause of Death :
Red Wedding massacre!



 

Jika kalian bertanya pada penonton GoT tentang adegan mana yang paling traumatik di sepanjang tujuh musim penayangannya ( tentu saja selain adegan Robin Arryn ngenyot tete ibunya ) kemungkinan besar mereka akan menjawab scene ketika Talisa, Robb dan Catelyn Stark dibantai oleh Walder Frey dalam sebuah momen pengkhianatan paling berdarah di Westeros ini. Tragedi yang dikenal dengan'Red Wedding'( konon terinspirasi dari kejadian nyata 'The Black Dinner' di Skotlandia ) ini bukan hanya brutal karena menampilkan double eksplisit slit-throat dan perut wanita hamil yang ditusuk-tusuk, namun juga mengguncang secara emosional karena tragedinya datang begitu tiba-tiba dengan korban yang merupakan karakter-karakter favorit penonton. Dalam pengkhianatan ini, seluruh pasukan Stark juga dibantai, dan seakan belum cukup, pasukan Frey dengan keji menjahit potongan kepala serigala di mayat Robb yang terpenggal kemudian mengaraknya beramai-ramai. Ya, George.R.R Martin begitu tanpa ampun membuat penontonnya menderita, gue bisa membayangkan penulis gendut itu menyeringai dari balik meja kerjanya. Damn you, George!

Brutal meter : 4/5


2. Ser Meryn Trant Death ( Season 5 Episode 10 )
Cause of Death :
Stabbed in both eyes, repeatedly in the chest, and throat slit by Arya Stark



 

Selain The Hound, karaker favorit gue adalah Arya Stark ( awas aje, kalo karakter ini juga mati! ), Arya sudah menyaksikan begitu banyak tragedi yang menimpa keluarganya, membuat dia berevolusi dari seorang tomboy bandel menjadi full skilled-cold blood-badass-assassin yang hanya digerakkan oleh satu motivasi : membalas dendam. Tiap hari dia merapal nama-nama orang yang ingin dibunuhnya ( kill list ), dan tentu akan menjadi momen crowd-pleaser saat Arya ( yang udah menguasai teknik assassins ) akhirnya bertemu dengan salah satu orang dalam daftarnya. Dalam aksi pembalasan nan badass ini, Arya ( yang mengecoh Ser Meryn dengan menyamar sebagai pelacur ) menusuk mata dan tubuh Ser Meryn berkali-kali lalu mengakhiri riwayatnya dengan sebuah sayatan pelan dileher. Hell yeah, nice move, Arya!

Brutal meter : 4,5/5


 1. Oberyn Martell Death ( Season 4 Episode 8 )
Cause of Death : Skull crushed by The Mountain



 

Gue cukup kesulitan menyusun list ini karena begitu banyaknya adegan brutal yang harus dipilih, tapi menentukan adegan mana yang berada di peringkat satu sih gampang, yap ga ada yang lebih graphics dari adegan saat The Mountain memecahkan bola mata lalu meremukkan kepala Prince Oberyn dengan cengkraman kuat tangan kosongnya haha what the fuck did i just watch? a splatstick b-horror movie? haha

Brutal Meter : 5/5
 

HONORABLE MENTION 

Walder Frey Death ( Season 6 Episode 10 )
Cause of Death :
Throat slit by Arya Stark


 
Inget pengkhianatan Red Wedding yang udah gue ceritain diatas? Walder Frey adalah orang yang bertanggung jawab atas tragedi itu. Dan di season 6, tua bangka ini akhirnya mendapat balasan atas perbuatannya. Siapa lagi kalo bukan Arya Stark yang melakukannya. Dalam adegan ini ( Arya yang kali ini menyamar menjadi pelayan ) menyayat dengan pelan leher Frey kemudian memegangi kepalanya agar darah terus memancur dari lehernya yang terkoyak. Tapi bagian terbaiknya adalah ketika kita tau ternyata Arya juga telah memutilasi dua putera Frey lalu menaruh potongan-potongan tubuh mereka dalam roti yang sedang dimakan Frey. Yeaay, Satu lagi sebuah crowd-pleaser dari Arya Stark.

....................


Nah, itu dia top 15 brutal death scenes in GoT versi HSD, Sebenernya sih masih banyak lagi yang layak masuk list ini, tapi cape ngetiknya, yaudah segini aja deh hehe oiya satu lagi, buat kalian yang males nginget begitu banyak nama karakter, silsilah keluarga, dan intrik politik yang rumit, kayanya ini bukan buat elo deh. Tapi, kalo mau nyoba dan bisa ngelewatin itu, payoff yang akan kalian dapet adalah adegan2 graphics yang udah gue tulis diatas, nudity, epic battles, zombie, naga, naga zombie, zombie vs naga, zombie vs naga zombie daaan...dwarf sex scene.


That's All, Folks.  


Sampai jumpa di season finale 2 tahun lagi.


Ciao.

 
Viewing all 50 articles
Browse latest View live